10. SETELAH DIA PERGI.

1.9K 177 62
                                    

Di bawah gerimis, di atas motor Nando—menyembunyikan wajahku yang berantakan di balik punggungnya yang kokoh. Isak tangis tak bisa lagi kutahan seiring air mataku yang meluncur bebas bak bendungan pecah mengaliri seragam Nando. Ya, aku yakin dia merasakan seragamnya yang basah karenaku, bukan karena hujan hanya sebatas rintik kecil.

Aku ketakutan setengah mati pada sahabatku sendiri. Sahabat yang dulu selalu berusaha menjagaku dari mereka yang ingin berbuat jahat, malah berbalik menyerangku dengan alasan yang tidak bisa kuterima dengan akal. "Dia mencintaiku?" Dia mencintaiku sampai dia ingin membuat sahabatnya sendiri kehilangan harga diri. Apa itu bisa di sebut cinta? Bagiku itu hanya sebuah ambisi dari perasaan nyaman yang tercipta karena kami terbiasa bersama, dan jujur aku merasakan itu. Aku nyaman setiap kali bersamanya, tapi itu bukan cinta. Melainkan hanya rasa saling memiliki dengan dasar 'persahabatan' dan aku tidak tahu kalau dia terlalu menganggap itu serius.

Aku refleks memeluk pinggang Nando saat sebuah kilat menyambar diiringi suara petir yang menggelegar. Nando meminggirkan motornya ke tepi jalan, bernaung di emperan toko bangungan. Ada beberapanorang di sana tapi paling kontras pria bertato itu. Usia sekitar tiga puluhan dengan rambut gimbal dan tindikan di hidung serta telinga—sedang bersandar pada pilar penyangga toko sambil menyulut sebatang rokok. Tatapannya membuatku takut.

Kontan aku menggeser posisiku sedikit lebih dekat dengan Nando saat pria itu mendekat ke arah kami, "Rokok?" katanya, menawari Nando.

"Nggak Bang, lagi diet." Pria itu memasukkan kembali rokok ke dalam kantong celana jeans robek-robeknya. Kembali ke tempatnya semula.

"Jangan takut sama dia. Dia orang baik kok."

"Kamu kenal dia?"

Nando mengangguk, menggeser posisinya saat beberapa pejalan kaki ikut berteduh. "Kenal. Dia yang punya toko ini. Biasanya kalau beli bahan bangunan pasti dikasih diskon sama dia. Dia orang baik cuma penampilannya aja yang bikin orang salah sangka."

"Bagas juga baik, awalnya." Aku menatap kosong ujung sepatuku yang basah karena cipratan air hujan. Semula aku juga selalu menganggap Bagas itu orang baik. Yang tidak akan pernah menyakitiku dan akan selalu menjagaku. Tapi apa? Nyatanya aku salah kan? Jadi wajar saja kalau aku lebih protective dengan diriku. Terlebih melihat seseorang yang dari luarnya saja sudah menakutkan.

"Bukan berarti sekarang dia jahat, Tar. Kalo menurut gue, dia cuma terbawa ambisi sampai dia lupa kalau lo itu sahabatnya."

"Aku harap ini cuma mimpi dan saat aku bangun semuanya kembali normal lagi."

Untuk sesaat aku tidak mendengar suara lain, selain suara air hujan uang beradu dengan atap toko. Beberapa pejalan kaki yang berteduh sibuk dengan ponsel mereka masing-masing, tidak peduli dengan petir yang mungkin saja bisa menyambar mereka.

Kedua tanganku masih setia menutup telinga, berharap petir berhenti menakutiku dengan suaranya yang menyeramkan. Bahkan suara petir lebih menyeramkan dari pada suara kuntilanak yang sering kudengar di film-film horor.

"Lo lupa gue pernah bilang apa? Kalau dengear suara petir tuh jangan tutup telinga." Nando memaksa tanganku turun. Membiarkan suara petir masuk begitu saja ke indera pendengaranku. "Kalau lo berani siapa pun nggak bakalan bisa nyakitin lo. Lo cuma butuh keberanian, Tar."

"Tapi aku takut." Aku memang takut. Kalau saja kalian bisa melihat bulu kudukku berdiri semua seperti sedang uji nyali di tempat paling angker.

"Petir juga butuh di dengar. Sama kayak manusia." Nando bicara sambil menatapku yang sudah pucat karena menahan takut. "Gimana rasanya saat lo ngomong tapi nggak ada yang mau dengerin?"

"kesel. Marah juga."

"Itu yang langit rasain. Petir itu diibaratkan suara langit, Tar. Dia juga pengin didengar sama kayak kita. Di dunia ini nggak ada satu pun makhluk yang mau diabaikan. Semuanya butuh yang namanya diperhatikan. Contoh kecil sebuah perhatian ya, cukup mendengarkan dengan baik." Mendengar ucapannya, rasa takutku akan suara petir sedikit menipis. Beberapa kali ada suara petir, rasanya tidak semenakutkan sebelumnya. Mungkin benar yang Nando bilang, kalau aku berani maka tidak akan ada yang bisa menyakitiku. Termasuk petir yang sejatinya hanya suara langit yang ingin didengar.

Dia dan Ilusiku [Completed✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang