Kuntum 2. Batang Waktu

13 1 0
                                    

Tak ada alasan kenapa Rangga menjadi mahasiswa di sebuah kampus elite di Seoul. Mungkin jawaban paling pucuk adalah karena dia ingin menjadi pelajar di luar negeri dengan biaya gratis. Itu saja.

Rangga Bentara Sastrowidiryo, Sarjana Ekonomi.

Kurang lebih begitulah namanya di sebutkan pada acara wisuda strata satu di Fakultas Ekonomi "Kampus Biru" UGM Yogyakarta, tahun lalu. Dari nama lengkap Rangga, tentu tersurat nama bangsawan. Tapi, secara kehidupan ekonomi, Rangga terlahir dari keluarga menengah ke bawah. Apalagi yang lebih menyedihkan adalah cerita diterimanya dia di universitas negeri di Yogyakarta itu, yang bukan lantaran prestasi pendidikannya yang gemilang, melainkan karena program beasiswa bagi pelajar kurang mampu. Sehingga, beasiswa yang diperoleh tidak penuh. Hanya biaya kuliah yang gratis, sedangkan untuk biaya kehidupan sehari-hari Rangga harus mencari nafkah sendiri, malang-melintang bekerja serabutan di kota Jogja. Mulai dari menjadi penulis sastra dan ilmiah, baik di koran, majalah, atau perlombaan, sampai dengan meluangkan waktu menjadi cleaning service. Kadang di rumah sakit, kadang di mall, atau lossmen.

Setelah lulus S1, justru Rangga malah tambah pusing. Menyandang buntut SE di belakang namanya malah menjadi beban yang menguji.

Sarjana ekonomi kok pengangguran
Sarjana sosial kok individual
Sarjana kedokteran kok jadi dukun
Sarjana hukum kok jadi maling
Lulusan SD kok jadi presiden.

Kurang lebih, itulah petikan lirik lagu dari seorang Abang pengamen sebuah bus kota yang sangat menempeleng Rangga sampai ulu dadanya. Karena sebagai sarjana pengatur dan penghasil uang atau sarjana ekonomi, tapi sampai detik itu dia masih tak bisa mengatur dan menghasilkan uang.

Hampir setahun di wisuda, namun belum punya pekerjaan tetap. Setiap hati dia tak pernah uzur mengecer koran dan langsung membuka rubik lowongan. Semua pekerjaan yang dilamarnya rupa-rupa. Tapi tak satu pun yang menerima Rangga. Ada sebagian yang menerima, tapi posisinya tak seperti yang diimpikan.

"Kau terlalu ideal, Rangga. Cobalah kalau usaha mulai dari angka nol. Jadilah wirausahawan ulung", seorang teman memberi saran. Tapi tetap saja tak manjur.

Mula-mula, Rangga membuka penerbit buku kecil-kecilan. Tapi setelah berlangsung dua kali penerbitan, pemasarannya amburadul. Bahkan dia harus mengerahkan segenap rasa malu buat gali lubang tutup lubang demi mengambil ijazah S1 yang berbulan-bulan berdiam di kantor pegadaian.

"Mungkin belum waktunya ilmumu bermanfaat bagi dirimu sendiri, kawan! Hahaha..." ledek seorang teman lagi.

Sampai berubahlah pikirannya untuk berhenti berburu pekerjaan, maupun berjuang menjadi pengusaha mandiri. Rangga sadar bahwa ilmunya masih kurang dari kata sempurna. Kemudian, dia mulai menguber beasiswa luar negeri dengan menjelajah Google yang "sakti". Mulai dari universitas di Eropa, Amerika, Afrika, sampai kampus-kampus di Asia yang menawarkan program beasiswa, dikiriminya email supaya ada yang menerimanya sebagai S2. Hingga akhirnya, pada siang yang sangat berkesan, sebuah nomor asing dengan kode negara +82 menyapa ponselnya. Seseorang di balik telepon itu lantas mewawancarainya dengan bahasa Inggris.

Dan dua hari setelahnya, Rangga mendapat email dengan subjek yang menggetarkan:Congrats...!

Dalam keadaan girang, dia langsung mengurus paspor dan perlengkapan lain seraya dengan serius mengikuti kursus bahasa Korea selama dua bulan, karena dia telah lulus dan diterima dengan beasiswa di sebuah universitas elite di ibu kota Korea Selatan: Seoul National University.

Dan ternyata, tak hanya Rangga yang mendapat beasiswa ke Korea. Dia kemudian dipertemukan dengan seorang teman dengan takdir yang sama. Seorang gadis dari kita kembang Bandung bernama lengkap Raisa Dewi Anggara, seorang sarjana teknik ITB.

Mereka berjumpa di bandara sebelum akhirnya sama-sama terbang ke Korea. Ternyata, gadis Bandung dengan panggilan Raisa itu mengaku pernah tinggal di Korea selama tuga tahun, menyelesaikan SMA nya di kota Suwon. Dan alasan Raisa belajar ke Korea juga tak kalah berkesannya.

"Aku kuliah ke Korea karena satu hal. Karena ibuku berada di sana...", begitulah penurunannya saat itu.

Pertama kali menemui Raisa, timbul kengerian dalam benak Rangga. Seorang gadis berperangai kasar, rambut pendek sleher yang jambulnya diikat karet, berkacamata hitam ala Nike Ardilla, mengenakan hem kotak-kotak yang ujung bawahnya diikat paten serta celana jeans braggy. Berkalung perak dengan liontin daun ganja. Kesan jadul campur metal melekat dalam fashion nya, seakan dia sedang terjebak di area pramillenium ketiga. Bagai manusia masa kini yang tersesat di masa lalu. Ketomboiannya mulai tertangkap ketika tak jarang dia menggerak-gerakkan ujung sepatu ketsnya sambil duduk di antara dua tas besar di kursi bandara.

Inilah batang waktu yang mempertemukan Rangga dengan Raisa.

"Ibuku jadi TKW di Korea setalah bapakku wafat, dan waktu itu aku baru lulus SD...," kisahnya kepada Rangga, yang membuat lelaki berbadan tegap dan hidung mancung itu seketika terenyuh di atas pesawat Air Asia.

Sambil mengunyah camilan yang dibagikan seorang pramugari, Rangga terus mendengar cerita-cerita Raisa.

".... Ya, karena tak ada pilihan pekerjaan lain di tanah air untuk membiayai hidup dan pendidikanku serta seorang adikku yang saat ini masih duduk di bangku SMA di Bandung."

"Apa benar tidak ada pekerjaan untuk ibuku di Indonesia?" Rangga menyoal, berlagak orang yang tak pernah merasakan pahitnya mencari pekerjaan di negerinya sendiri. Namun, pertanyaannya ini ada benarnya juga untuk menjaga gengsi sebagai sarjana ekonomi yang tentu dia ingin mengurangi angka TKI di luar negeri.

"Begini, ngga..." Raisa menarik napas sembari melepaskan kacamata hitam ala Nike Ardillanya. "Almarhum bapakku meninggalkan jumlah utang yang cukup besar karena bisnisnya pernah bangkrut. Bapak duku punya toko ektronik lewat dana pinjaman bank. Tapi kata orang, bapak kena tipu sama rekan bisnisnya. Maka, mau tak mau, meluncurlah ibukku ke Korea...."

Dari situlah, Rangga mulai merasa iba pada Raisa. Dipikirnya keadaan perempuan yatim piatu itu lebih sulit ketimbang dirinya. Sejak kecil, teman barunya ini harus berpisah dengan orang tuanya. Lain lagi dengan adiknya.

"Kerja apa saja ibumu di sana?"
"Banyaklah. Ibuku jadi pembantu rumah tangga di keluarga konglomerat. Macam-macam yang dikerjakan ibuku. Merawat bayi majikan, merawat majikan sakit, dan merawat majikan yang sudah lansia, karena rumah yang ditempati kerja ibuku itu keluarga besar orang kaya raya di Suwon.... Dan ibuku kini termasuk pembantu senior yang dikenal dengan baik disana".

"Terus?"

"Keluarga besar disana itu baik lho sma ibu.. waktu aku lulus SMP, aku dipanggil ke Suwon dan diberi kesempatan oleh majikan ibuku buat melanjutkan SMA di sana... Katanya sih, itu adalah hadiah buat ibuku yang pernah merawat Tuan Besar yang wafat dalam pelukan ibu". Raisa menarik napas lagi. Mungkin dadanya seperti ditekan-tekan karena harus menceruk-ceruk kenangan silamnya serta menanggung sedih kehidupan yang dia jalani.

"Hebat, ya...! Dan sekarang, kamu bisa balik lagi ke Korea", puji Rangga menyambut.

"Ya, aku bersyukur karena aku bisa lulus beasiswa ini. Seoul National University itu kampus yang punya wibawa di sana, loh. Kalau tidak salah, masuk peringkat kedelapan belas kampus terbaik di dunia. Oh, iya kalau kamu kenapa memilih kuliah S2 di Korea?" dia balik menanyai Rangga.

Rangga tersenyum. "Entahlah, tidak ada yang istimewa. Mungkin karena takdir yang menghadirkan waktu untuk menemukan Korea dalam hidupku selanjutnya..."

Bibir Raisa mengembangkan senyum yang meletup. Giginya terlihat dengan behel biri. Dan aroma mulutnya menyegarkan. "Filosofis juga!" ledeknya.

Ah, gadis ini! tiba-tiba benak Rangga berseru. Seraya mata lelaki itu melirik-lirik Raisa. Jika dilihat-lihat dengan teliti, sebenarnya Raisa adakah wanita yang berparas cantik. Cantik plus manis! Seru benaknya sekali lagi. Kulit wajahnya halus, putih dan bersih. Alisnya yang lebat melengkung indah. Ia memiliki tatapan mata yang menawan, agak sembab seperti menyimpan kelam kesedihan. Buku-buku matanya merekah. Pipinya merah muda. Bibir dan hidungnya tampak manis dan serasi.

Sebenarnya, Raisa bisa menjadi sangat anggun. Tapi sayang, bagi Rangga, Raisa terlalu tomboi untuk ukuran wanita. []

🐼🐼🐼

Akhirnya bisa up lagi
Jangan lupa votment nya ya thanks...
Selamat membaca
Maaf klo banyak typo nya

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 26, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Melting SnowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang