Aku dan Gitarnya

18 2 1
                                    

Ku tekan tuts piano dengan lembut mengikuti not balok yang telah ku hafal. Mendengar nada yang lembut membuatku berandai-andai sedang di padang rumput luas yang banyak ditumbuhi oleh bunga dandelion, di temani oleh desiran angin dan cahaya orange yang menerpa kulitku.

Dentingan piano terakhirku di sambut baik oleh suara tepuk tangan penonton yang menggema di aula ini. Para penonton dan juri terlihat puas dengan penampilanku.

Aku tersenyum seraya membungkuk sopan dan meninggalkan panggung dengan suasana hati senang.

Tahun ini, aku mengikuti Kompetisi Piano Internasional Frederic Chopin. Dimana semua pianis handal menampilkan kelihaiannya di sini.

Di ruang tunggu seseorang menungguku dengan senyuman.

"Raka!!" teriakku.

"Selamat Raya. Tadi penampilan lu bagus banget!" ucapnya seraya mengacungkan ibu jarinya.

Ku angkat telapak tanganku, bermaksud untuk bertos ria dengan Raka.

"Deg-degan nih gue. Tapi lega rasanyaaaaa.."
Kuhembuskan napas lega. Hahh.. rasanya seperti sesuatu beban di pundakku sudah hilang.

"Iyalah. Gue yakin lu pasti bisa, Ya. Sahabat gue gituu~" ujarnya seraya tangannya bersidekap di depan dadanya.

"Pokoknya nanti lu harus nonton penampilan gitar gue. Secara lu kan penggemar gue." lanjutnya sambil terkekeh.

Ku balas dengan mendelikkan mata.
"Ya.. ya gue penggemar lu."

Raka mahir dalam bermain gitar, ku akui itu. Mungkin menurut mereka, semua permainan gitar itu sama saja. Tapi menurutku berbeda. Ya, aku tahu suara petikan gitar yang mengalun indah, denting piano yang lembut. Karena ayahku itu seorang musisi dan gitaris terkenal, sedangkan ibuku seorang pianis.

Sedari kecil aku sudah terbiasa mendengar musik dari berbagai alat musik. Waktu aku berumur 5 tahun aku sudah belajar memainkan alat musik. Bagaimana aku tidak bisa membedakan nada ataupun musik? Mana yang indah dan biasa saja? Ohh.. Mudah sekali.

Flashback

Aku berjalan menelusuri lorong kelas yang sepi. Kulirik arloji yang melekat di tanganku menunjukkan pukul 17.15 WIB.

'Pantas aja sepi'

Langkah kaki kupercepat menelusuri lorong yang sepi ini. Mungkin kalian menganggap aku ini penakut, tapi konon katanya setiap sekolah itu mempunyai cerita seramnya masing-masing. Apalagi kalau sudah sore gini. Para siswa dan guru sudah pulang, sepi, cahaya temaram, di luar cuacanya mendung, hanya terdengar suara langkahku dan detak jantungku. Terbayangkan? So scary.

Di ujung lorong, terdapat tangga yang mengarah ke bawah. Aku segera bergegas menuju tangga itu.

Ketika aku menuju tangga, terdengar alunan petikan gitar yang masuk kedalam indera pendengaranku. Aku kaget, sore-sore gini siapa sih yang main gitar?!

Ah, iya. Aku baru saja ingat. Setiap sorenya selalu ada saja yang memainkan gitar di ruang musik.

Sering kali aku mencoba mencari tahu siapa yang memainkan melodi indah itu, tetapi pintu ruangan itu selalu di kunci dari dalam, seolah-olah ia ingin menyembunyikan bakatnya.

Tentu aku tak putus asa. Ku dekati saja pintu itu dan membukanya perlahan.

'Wah gak di kunci ternyata' batinku girang.

Di sana terlihat seorang laki-laki berperawakan tinggi sedang duduk sambil memetik senar gitarnya. Wajahnya tidak terlalu jelas karena sedang menunduk melihat chord gitar yang dia mainkan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 27, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Aku dan GitarnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang