Yang pernah singgah

86 2 0
                                    

Menjalani hubungan jarak jauh memang bukan kali pertama bagiku. Pertama kalinya bersama seorang pria dari kota Daeng saat umurku dan umur dia belum genap tujuh belas tahun. Bertahan selama setahun tiga bulan dengan dua kali pertemuan yang indah. Kedua bersama salah seorang pria asal Surabaya namun sedang bekerja di daerahku. Dua bulan pertama berLDR antar kabupaten di daerahku hingga saat masuk bulan ketiga kita benar-benar dipisahkan oleh pulau. Dia kembali ke Surabya. Ketiga bersama pria lulusan teknik sipil di Universitas Samratulangi, Manado. Pria yang sering sok-sokan menggunakan logat Manado ini lahir, tumbuh dan berkembang di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Lagi-lagi setelah LDRan antar provinsi kita harus terpisahkan oleh pulau. Lepas wisuda dia kembali ke Banjarmasin.

Ketiga-tiganya hanya bertahan dihitungan bulan,ya kecuali si daeng dari Makassar. Aku lebih memilih mengakhiri daripada meneruskan. Padahal janji dan rencana hidup telah kita pikirkan. Tau apa anak eSeMA dengan rencana hidup berumah tangga.

Ku akui bersama mereka aku masih anak ingusan, yang masih manja, rewel dan apa-apa masih harus mengandalkan orang tua. Kamar yang dipakai untuk belajar, merenung masih harus dibersihkan mama. Bahkan tempat tidur yang kugunakan untuk menerima telpon dari mereka atau bantal yang kugunakan sebagai alat penutup wajahku saat menerima telepon dari mereka masih diatur mama saat matahari menyapa. Mandiri masih jauh dalam diriku. Lalu sok-sok-an ingin membangun rumah tangga bersama mereka?

Perbedaan budaya, usia, bahasa tak pernah menjadikan hambatan dalam berhubungan. Bahkan sesering kali antar aku dan salah satu dari mereka saling menjelaskan budaya dari daerah sendiri. Kebiasaan anak-anak mudanya, tempat nongkrongnya bahkan isu-isu di daerah masing-masing sering diperbincangkan.

"Ada tuh yang nyaleg istrinya tiga, takutnya pas dia kepilih aturan diubah setiap pria wajib memiliki istri tiga atau lebih. Haha keren ga?"

"Kalo dia kepilih aku ga mau nikah sama kamu ah. Yang ada nantinya aku punya banyak saingan."

"Kalo dia kepilih dan bikin aturan kayak gitu, aku langsung pindah domisili ke kota kamu. Biar sekalian orang tua kamu dapat menantu yang domisilinya sama kayak kamu hahah"

Ya. Seseru itulah percakapan aku dengan salah satu dengan mereka. Bukan hanya sekadar membahas soal cinta, kangen, ingin bertemu. Tapi membahas politik, agama, pelajaran. Dan yang paling menjengkelkan adalah ketika aku menanyakan soal tugas fisikaku kepada si teknik sipil. Setelah menjelaskan tapi tetap saja aku tak mengerti kalimat jitu yang buat aku semangat belajar pasti keluar dari mulutnya "adoh tape cewe ini pintar. Kalo bodo bagini bukan tape cewe. Wey roh kaluar nga dari tape cewe pe badan, tape cewe pe roh itu pintar".  Dan seketika aku pun tertawa, segera menyelesaikan tugas dan belajar dengan sungguh-sungguh.

Namun, semuanya harus kandas. Semuanya harus berakhir. Mungkin alasannya adalah jarak, wanita/pria lain, atau bahkan dari sifat cepat bosanku. Menangisi mereka? Never. Balikkan dengan mereka? Never. Aku tipe orang yang tidak ingin kembali memulai cerita yang lama dengan orang yang lama dan bagiku menangisi mereka adalah hal yang tak ada gunanya.

Logikaku mengatakan bahwa mereka bukan orang yang tepat untuk ditangisi.

Lepas dari mereka aku membiarkan diriku untuk sendiri walaupun ada beberapa orang yang menawarkan diri untuk mendekat. Namun dengan halus ku katakan tidak bisa. Bukan karena belum bisa melupakan mereka, tapi karena memang ada seorang pria atletis yang mengajarkanku agar tidak menerima pernyataan dari pria lain. Pria atletis ini seakan menjanjikan sesuatu kepadaku. Setiap kalimat yang keluar dari bibir coklatnya membuatku merasa akan diajak ke surgaNya bersama. Sorot mata pandanya seakan mengatakan untuk menyegerakan dan dari sorot mataku seakan mengatakan "jangan dulu, aku masih berseragam abu-abu dan baru saja bernafas di udara tahun tujuh belas".

(CERPEN) Persetan dengan cintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang