Hujan deras mengguyur kota kala itu. Menurut berita cuaca yang aku tonton semalam, hujan turun hanya di daerah timur. Menguntungkan memang, udara jadi tak panas, sumur-sumur rumah tak kekeringan, debu-debu hilang, dan kau tak akan kepanasan, kata orang. Nyatanya? Aku lebih memilih hangat ketimbang dingin, lebih memilih kering ketimbang basah, karenanya aku sedikit membenci hujan.
Aku melihat gitarku di sudut kamar yang lembab, menatapnya kesal. Menurutku sudut kamar adalah tempat terhangat ketika hujan, karena itu aku menyimpan benda itu di sana. Kesal bukan berarti tak suka bukan? Berbeda dengan ini, aku benci hujan, juga kenangan-kenangan tentang hujan. Tunggu dulu, kau perlu tahu bahwa aku ini bukan seorang kekinian yang membenci hujan karena putus cinta, atau seorang pembenci yang membenci karena cinta nya bahkan belum dimulai tapi sudah putus, jangan salah paham, aku bukan pujangga seelit itu. Alasanku sederhana, aku membenci hujan karena basah, dingin, dan aku tak bisa ke luar rumah karenanya. Menurut temanku, hujan akan membawamu pada suatu kondisi di mana perutmu keroncongan. Aku percaya ini.
Jreeenggg... Aku teringat saat memetik gitarku. Sial, aku bosan. Sebelumnya tak pernah terpikirkan olehku bahwa aku akan kesal dengan gitar, ini adalah hobiku. Aku berganti posisi duduk, gitar kutaruh di sampingku, sengaja kuberdirikan. Seratus, dua ratus, tiga ratus, aku penasaran berapa meter kubik per sekon air jatuh dari langit hitam, aku penasaran. Aku bahkan pernah berniat untuk memasukkan air hujan ke dalam gentong besar, lalu mama marah ketika tahu apa tujuanku. Katanya tak masuk akal. Memang. Hanya ingin mengukur banyak air itu.
Aku masih menatap ke luar jendela, mempertanyakan percik mana yang lebih deras, sebelah kananku atau kiriku. Aku berpikir bodoh tentang itu. Hujan ini terlihat berbeda, ada yang janggal. Aku bukan seorang pemerhati sebelumnya, namun sejak detik itu aku adalah seorang pengamat bijak, kurasa. Terserahlah, aku tak peduli. Mataku berat, suasana dingin ini sungguh membuatku mengantuk. Tak kupedulikan lagi hujan yang jatuh dan kekesalanku pada gitar, aku terlelap.
****
Tempat ini dingin, aku kesal. Harus berapa kali aku mengalah pada dingin, aku membencinya, aku bisa terkena flu, bahkan aku bisa menjadi beku. Aku benci dingin. Tunggu, di mana aku? Tempat ini asing, aku tak pernah ke sini sebelumnya. Heran, luas sekali dan seperti terlindung oleh marmer putih sedingin es. Aku tak tahu ini di mana, apa di surga? Apa aku sudah mati? Hah kesal, ini tak mungkin bukan?
Aku ingat. Aku kan hanya tidur, artinya mungkin aku bermimpi saja. Apa namanya? Lucid dream? Tapi ini terasa begitu nyata. Oh benar, plaakk.. Ini sakit, tamparanku sakit, artinya ini bukan mimpi. Pikiranku ke mana-mana, apa aku sedang diculik oleh agen rahasia? FBI? CIA? Aku bukan teroris hey.
"Siapa kau?" seorang bertubuh kekar mendatangiku, pakaiannya putih, matanya biru, kulitnya putih bersih, rambutnya kuning, usianya mungkin empat puluh.
"Apa kau orang barat? Amerika? Kanada? Inggris? Australia? Dari mana kau? Katakan aku di negara mana sekarang?"
"Aku bertanya dan kau bertanya, apa itu sopan?" dia mengernyitkan dahinya.
"Maaf. Aku Nada, usiaku 17 tahun. Rumaku di Batam, Indonesia. Bapak sendiri siapa?"
"Bapak? Aku tak setua itu. Juga, kau tak perlu tahu namaku." dia bersikap sedikit angkuh.
"Siapa yang tak sopan sekarang?" aku bertanya kesal.
"Terserah aku, toh ini rumahku." kali ini ia berbalik badan, bejalan menjauh, aku mengikutinya.
"Kau yang menculikku? Akan kuberi tahu, aku ini tidak kaya jadi jangan mengharapkan uang tebusan penculikan, organku busuk semua jadi tak bisa dijual, badanku kurus pendek, tak akan ada lelaki hidung belang yang mau menerimaku menjadi biduan. Sudahlah, pulangkan saja aku." aku berbicara tanpa jeda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nada dan Diam
General FictionKau berhak bahagia dan takdir tak ada yang tahu, esok kau belum tentu hidup, maka bahagialah. Jangan pernah membohongi dirimu sendiri. Biarkan ia bersuara, bangunkan ia dari bisu dan jangan biarkan ia diam."