Begitulah, maka Arya Wirayuda dan Gupita kemudian mencari tepian sungai yang cukup sepi dan berpasir serta terlindung dari sengatan sinar matahari untuk menunggu waktu sore sambil beristirahat sebelum nantinya memasuki dusun yang ada di seberang sungai.
Setelah mendapatkan tempat yang dirasa sesuai dengan keinginan mereka, mereka lalu menambatkan kuda-kudanya di dekat rerumputan yang tumbuh subur di pinggir sungai.
Kemudian tanpa janjian, Arya Wirayuda dan Gupita lalu melepas baju mereka dan menceburkan diri ke sungai yang airnya jernih tersebut.
Keduanya tampak riang berenang-renang di sungai itu, hal yang tak pernah mereka lakukan di padepokan yang tidak ada sungai di dekatnya, sehingga kegiatan berenang di sungai bagi mereka adalah hal baru yang menggembirakan dan menyenangkan.
Tak terasa matahari mulai berada di sisi barat laut, keduanya juga tampak mulai kedinginan setelah sekian lama berendam di sungai, maka keduanya kemudian mengganti kain yang basah dengan yang kering dan menjemur kain basahnya di bebatuan yang panas ditimpa sinar matahari sejak pagi.
Kemudian mereka mengambil bekal makanan yang mereka beli di warung dekat pasar desa terakhir yang mereka singgahi tadi. Keduanya tampak lahap memakan hidangan sederhana yang terasa nikmat saat perut mereka lapar itu.
Beberapa waktu kemudian, setelah waktu beranjak sore, dan kain basah yang mereka jemur sudah kering, maka keduanya sepakat untuk segera menyeberang dan menuju ke dusun yang ada di seberang sungai.
Setelah mencari bagian sungai yang dangkal, mereka kemudian menyeberangi sungai. Tak butuh waktu lama untuk keduanya menyeberangi sungai kecil itu, dan sampailah mereka di seberang sungai. Kemudian mereka mencari jalan di sela-sela persawahan yang membentang di pinggir sungai sampai di pinggir desa yang mereka tuju.
Setelah menemukan jalan tanah yang membelah persawahan itu maka perlahan lahan Arya Wirayuda dan Gupita mengarahkan kudanya menuju desa yang tampak di kejauhan.
Tanaman padi di kiri kanan jalan yang membentang luas di area persawahan itu tampak menghijau sedap dipandang mata, dan pada saatnya nanti tentu akan menghasilkan padi yang akan menjadi persediaan pangan bagi warga di desa.
Melihat suburnya tanaman padi itu, maka ada gambaran bahwa desa yang mereka tuju adalah sebuah desa yang cukup makmur.
Pelan namun pasti, akhirnya kedua anak muda dari padepokan gunung Penanggungan itu mulai mendekati pinggir desa. Tampak anak-anak kecil yang masih bermain-main kejar-kejaran sambil tertawa riang. Pemandangan itu tak ayal membuat Arya Wiguna dan Gupita gembira, mereka merasa bahwa masa anak-anak memang masa yang menyenangkan, penuh dengan kegembiraan.
Memasuki pinggir desa, mereka kemudian bertanya kepada warga yang mereka temui dimana rumah Buyut (kepala desa).
"Permisi Paman, bolehkan kami bertanya desa apakah ini, serta dimana rumah Buyut desanya? " tanya Arya Wirayuda setelah turun dari kudanya.
"Oh, ini desa Gluntung anak muda, lalu rumah Ki Buyut terus saja, nanti dekat pertigaan di depan belok kanan, rumah paling bagus dengan dua pohon sawo kecik di depan rumah adalah rumah Ki Buyut, lalu siapakah anak muda berdua ini, dan ada perlu apakah ingin bertemu dengan Ki Buyut?" warga desa itu menjawab sambil tak lupa bertanya balik pada Arya Wirayuda.
" Oh, kami ini kebetulan dua anak muda yang sedang mencoba melihat luasnya cakrawala Paman, tujuan kami bertemu Ki Buyut adalah hendak mohon ijin bermalam di banjar desa ini Paman" jawab Arya Wirayuda.
"Wah, kalian ini mujur, masih muda muda namun sudah berkelana kemana-mana, tidak seperti anak-anak muda dusun yang harus bergelut dengan lumpur sawah setiap hari untuk mencukupi kebutuhan hidup, kalian tentu kenyang dengan pengalaman yang nantinya akan berguna di masa depan" ujar paman tua itu.
"Wah, paman ini terlalu memuji saja, apalah kami ini, dua orang tak tentu arah yang hanya mengikut kemana kuda kami ini membawa kami" jawab Arya Wirayuda
Setelah beberapa waktu, sekira sepeminuman teh Arya Wiguna dan Gupita berbincang dengan seorang penduduk desa yang telah menunjukkan arah rumah Ki buyut desa itu, maka Arya Wiguna dan Gupita kemudian berpamitan untuk segera menuju rumah Ki Buyut untuk memohon ijin menginap di banjar desa itu.
Tidak butuh waktu yang lama bagi keduanya untuk mencapai rumah Ki Buyut sebagaimana ancar-ancar yang tadi disampaikan oleh warga desa yang mereka temui di pinggir desa.
Di halaman rumah yang cukup luas itu, tetdapat dua buah pohon sawo kecik yang rindang, tepat seperti yang tadi disamoaikan oleh warga ddsa yang mereka temui, sementara di samping pohon sawo sebelah kanan terdapat sebuah banjar desa yang cukup luas dengan sebuah tempayan air lengkap dengan gayung di depannya sebagaimana layaknya banjar-banjar desa yang ada di seantero wilatah Wilwatikta. Tempayan air itu biasanya diletakkan di banjar desa yang berada di dekat pinggir jalan untuk memudahkan pejalan atau warga yang melintadi jalan itu yang kehausan di jalan untuk meneguk satu dua tegukan air sebagai penghilang dahaga.
Setelah turun dari kuda kemudian menambatkan kuda di dekat pagar milik Ki Buyut, maka keduanya kemudian melangkah menuju pendopo rumah milik Ki Buyut.
Saat yang sama dari samping rumah tampak seorang ibu yang melangkah menuju halaman rumah, maka kemudian Arya Wiguna dan Guoita segera menghampirinya.
"Permisi Bibi, kami pengin bertemu dengan Ki Buyut, apakah Ki Buyut ada di rumah Bibi?" ujar Arya Wirayuda"Kalian berdua ini siapa ya, kok Bibi seperti belum pernah melihat kalian berdua, apakah kalian bukan dari desa ini? " jawab Ibu itu
"Kami ini dua orang anak gunung yang sedang berkelana mencari pengalaman hidup Bibi, saya Arya Wirayuda, dan teman saya ini Kakang Gupita, kami berasal dari lereng Gunung Penanggungan, dan maksud kami berdua bertemu Ki Buyut adalah hendak mohon ijin menginap di banjar desa malam ini Bibi" jawab Arya Wirayuda.
"Oalah, pantesan kok Bibi ini tidak mengenal kalian berdua ini, sebab kalau pemuda di desa ini, baik yang di dusun induk ini atau dari dusun-dusun lainnya Bibi pasti satu dua kali pernah bertemu, apalagi yang sering ikut latihan beladiri di rumah ini, baiklah, kalian tunggu saja di pendopo, biar Bibi panggilkan Ki Buyut" ujar Bibi itu kemudian melangkah menuju ke dalam rumah Ki Buyut.

KAMU SEDANG MEMBACA
Paregreg, Senjakala Wilwatikta
Ficción históricaCerita fiksi sejarah ini mengambil setting masa Wilwatikta (Majapahit) pasca Hayam Wuruk mangkat yang kemudian timbullah perang saudara yang dikenal dengan Perang Paregreg Arya Wirayuda, seorang bangsawan muda, cucu dari bekas senopati perang Majapa...