LIMA

70 6 0
                                    

POV Genta

Kemarin malam merupakan malam yang sangat panjang untukku. Alih-alih menelepon Nadine aku hanya mengirimi pesan singkat untuknya.

"Aku tidur duluan ya, kamu kalo tidur jangan malem-malem. Good night."

Pikiranku belum sempat beristirahat sejak semalam, pikiranku belum bisa tenang. Memikirkan segala kemungkinan yang akan terjadi, entah berujung baik ataupun berujung pada akhir yang menyakitkan.

Cahaya matahari pagi ini terasa dingin untukku, entah karena apa alasannya. Hari sabtu yang kelabu, untuk beranjak dari tempat tidurku saja sudah terasa malas. Terdengar suara pesan masuk dari handphone ku dan ternyata itu adalah pesan dari Nadine. Ada perasaan takut untuk membukanya, namun timbul rasa penasaran apa isi pesan di dalamnya. Setelah berdiskusi dengan diriku sendiri, akhirnya aku membuka isi pesan darinya.

From: Nadine

Kamu enggak apa-apa kan, Nta? Kamu kok enggak nelepon aku semalem?

"Ya kenapa enggak lo aja telepon gue?" ucapku membalas isi pesan Nadine dengan nada kesal.

Setelah beberapa lama berpikir aku tidak boleh menjadi laki-laki pengecut dan penakut seperti ini. Aku harus mengajak Nadine berbicara serius tentang hal semalam, tentang kejelasan jawabannya semala karena ini menyangkut masa depan kita berdua. Semua ini harus jelas, Nadine harus menjawab pertanyaanku semalam sejelas-jelasnya.

From: Genta

Ketemuan yuk, kita ngobrol. Kamu kan harus jawab pertanyaan aku yang semalam juga. Ada waktu kapan kira-kira?

Ku intip layar handphone ku beberapa kali, belum ada tanda-tanda Nadine membalas pesanku. Pikiran dan perasaanku campur aduk sambil mengingat kejadian kemarin malam. Apakah ada yang salah dalam perbuatanku semalam? Apa aku kurang romantis? Atau apa Nadine tidak suka caraku melamarnya? Apa? Apa? Dan kenapa? Semua pertanyaan-pertanyaan dari yang rasional hingga irasional berkeliaran di pikiranku. Tiba-tiba handphone ku berbunyi menandakan ada panggilan masuk, dan itu dari Nadine.

Dengan sedikit mengulur waktu karena tidak ingin terkesan seperti mengharapkan panggilan darinya, aku akhirnya memberanikan diri untuk mengangkat telepon.

"Halo, Nta" ucap Nadine diseberang sana.

"Iya, kamu udah baca Whatsapp aku?"

"Udah kok, makanya ini aku telepon kamu."

"Bisa kapan kamu jadinya? Aku tahu kamu sering ada kerjaan kalo weekend makanya aku ngusulin kamu aja yang nentuin kapan"

"Hmm, kalo kita ngobrolnya besok bisa kan? Aku tiba-tiba ada kerjaan di kantor" ucapnya ragu

"Iya kan bener, kerjaan hehe. Enggak apa-apa kok" ucapku mencoba mencairkan suasana.

"Di kopi kenangan aja ya. Enggak apa-apa kan?" usul Nadine. Kafe itu memang salah satu kafe favorit kami berdua untuk sekedar minum kopi dan mengobrol.

"Iya, enggak apa-apa kok."

"..............:"

"Kamu... mau aku jemput?" tanyaku ragu.

"Boleh, kalo kamu ga keberatan..." ucapnya agak menggantung.

"Oke, besok aku jemput kamu jam tujuh malem ya" balasku singkat.

"Sip" jawabnya sambil memutus jaringan telepon.

Ini terasa sangat canggung, aku tidak bisa membayangkan bagaimana hari esok akan berjalan. Haruskan aku berlakon seperti tidak pernah terjadi apa-apa, tetapi hati dan pikiranku membuatku tidak bisa bertindak seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Genta bukanlah laki-laki pecundang, bukan juga bucin alias budak cinta yang akan lemah dan terkalahkan oleh perasaan yang tak beralaskan logika.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 27, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

A Gift From HeavenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang