Tokoh Utama

26 3 0
                                    

Seharusnya tidak seperti ini.

“Maaf.”

Dan juga bukan permintaan maaf seperti ini.

“’Maaf’ bukan kata yang tepat sekarang, Ken.” Aku menghela napas berat.

Salah satu bagian di hatiku sakit sekali, sangat sesak, dan mataku terasa panas. Aku bahkan tidak sanggup untuk sekedar mengangkat kepala dan menatapnya.

Terasa sakit.

“Seharusnya dari awal aku nyerah, ya?” ujarku tersenyum miris dan buru-buru menghapus air mataku yang terjatuh.

Tanganku mengepal erat saat tangan Ken menyentuh pundakku dan membawaku ke dalam pelukannya, “Aku beneran minta maaf, Res.”

Dan aku tidak butuh permintaan maaf kamu, Kenzo. Aku juga tidak butuh pelukan kamu saat ini. Aku tidak butuh undangan pernikahan yang kamu bawa untukku malam ini. Aku tidak butuh semua itu, Ken.

“Res! Teresa, liat aku!” Ken menangkup wajahku untuk menatapnya. Dengan air mata yang masih mengalir, aku hanya menggeleng kecil. Aku tidak sanggup untuk menatapnya. Aku tidak sekuat itu.

“Aku cinta kamu, Res,” ujarnya yang membuatku semakin terisak, “tapi aku enggak punya pilihan lain. Ibu aku…” Kenzo ikut menangis bersamaku dan kembali menarikku dalam pelukannya.

“Aku cuma mau kamu,” isakku, mengeratkan pelukan. “Aku mau kamu.”

Tetapi Kenzo tidak pernah membalasnya lagi.

“Apa kamu enggak bisa lari di hari pernikahan kamu buat aku? Karena aku enggak sanggup datang ke pernikahan kamu, Ken. Aku enggak-”

“Sshh.” Kenzo kembali menenangkanku. Namun, aku sudah tahu jawabannya. Ken tidak akan bisa. Kenzo-ku tidak akan memilihku.

Seharusnya kisah kami berakhir bahagia seperti di sebuah novel romantis. Seharusnya perpisahan seperti ini tidak pernah terjadi. Atau seharusnya aku-lah yang bersanding dengannya di pelaminan. Tetapi bukan seperti ini.

Kenzo benar-benar seperti sebuah tokoh utama dalam setiap kisah hidupku. Saat ia tanpa ragu-ragu berlari untuk mengejar pencuri yang saat itu mencuri tas-ku. Saat tanpa malu-malu ia memakan masakanku. Atau tanpa rasa kasihan ia memeluk tubuhku di saat aku terjatuh.

Ia adalah Kenzo-ku.

Tetapi hubungan kami tidak pernah berjalan semulus itu. Layaknya dongeng, ibu Ken tidak menyetujui hubungan ini. Dan berhasil membuat hubungan kami semakin menjauh saat ibu Ken membuat wasiat agar ia menikah dengan gadis pilihannya.

Aku tidak bisa melakukan apa pun lagi. Di satu sisi aku tahu ini pasti berat untuk Ken memilih di antara aku atau ibunya yang kini sudah tiada. Aku tahu Ken akan memilih ibunya, aku tahu bahwa aku akan dicampakan. Kupikir aku sudah mempersiapkan diriku untuk malam ini. Kupikir aku sudah siap untuk melepaskan Ken. Kupikir aku sudah siap untuk semua rasa sakit ini. Kupikir begitu.

Tetapi itu semua terlalu berat untuk kulakukan.

“Terima kasih dan maaf. Aku cinta kamu, Teresa,” ucapnya berulang kali bagai mantra. Namun setiap kali ia mengucapkan itu, hatiku akan semakin sakit.

Jika ia mencintaiku dan aku juga mencintainya, mengapa kami tidak bisa bersama? Mengapa takdir begitu kejam pada kami? Di antara berjuta-juta pasangan, mengapa harus kami? Dan di antara jutaan lelaki, mengapa aku harus jatuh hati pada Kenzo?  Mengapa?

Dan aku benci waktu yang berjalan sangat cepat di saat Kenzo memutuskan keluar dari rumahku malam itu. Aku benci setiap air mata yang keluar dari mataku hanya karena dirinya. Aku benci tersenyum saat berbagai kenangan manis kami terlintas begitu saja. Dan terkadang, aku membenci diriku sendiri yang masih sering memikirkannya.

Main Character (Oneshot)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang