Tak lama, dua siswi masuk ke UKS, disusul Reza yang berjalan di belakang mereka. Segera mereka mengurus Keyra yang masih dalam keadaan pingsan. Valdi yang juga petugas PMR, sigap membantu dengan mempersiapkan alat dan obat-obatan. Vita membersihkan darah di hidung Keyra menggunakan tisu, sedangkan Tata melepaskan sepatu, kaos kaki dan melonggarkan ikat pinggang, kucir rambut serta dasi Keyra.
Melihat Keyra sekarang, Rendra hanya mampu khawatir dan tak bergeming. Reza yang masih heran dengan sosok Rendra, tak lepas memandangnya sebagai orang asing. Bahkan ia belum mengerti mengapa terjadi peristiwa yang menurutnya tak masuk akal. Rasa penasaran pun menghinggapi diri Reza, ia melangkah mendekati Rendra lalu menggenggam lengan–ah, lebih tepatnya lengan bajunya, seraya menarik Rendra, keluar dari ruangan tersebut.
"Sebenernya lo siapa sih? Gue yang pasti tau anak satu sekolah ini pun, nggak pernah liat lo di sini. Tapi kenapa lo bisa pake seragam Alatas?" tanya Reza dengan cepatnya, saat mereka telah berada di luar ruangan. "Lo pasti siswa sini kan?"
Reza yang berdiri berhadapan dengan Rendra, langsung saja melempar pertanyaan-pertanyaan dengan tujuan untuk meluapkan segala rasa penasaran yang melingkup dalam benaknya, dan berharap penasaran itu terjelaskan. Rendra yang masih digulung dengan kemelut rasa khawatir, tak sedikitpun berniat meladeni seseorang yang kini menganggapnya adalah lawan bicaranya.
"Terus kenapa lo bisa sama Keyra? Kenapa Keyra bisa pingsan? Sampai mimisan pula?" pertanyaan beruntun, masih berlanjut. "Apa yang terjadi? Dan kenapa muka lo nunjukin kalo lo khawatir banget sama Keyra?"
Kalimatnya tak berjeda, dirasa orang ini tidak punya rem dalam berbicara, batin Rendra sejenak. Kebisingan itu masih terdengar, meski kalimatnya tak lagi jelas ia dengar. Hingga risihpun mulai hinggap di telinganya. Entahlah, mungkin orang ini memang perlu jawaban.
"Apa lo kenal Keyra? Apa lo kel—"
"Saya anak baru."
Singkat. Itu saja cukup menjelaskan segala pertanyaan yang ditujukan, pikir Rendra demikian. Hingga ia pun tak perlu susah-susah menjawab semua pertanyaan satu-persatu. Sedangkan Reza yang sudah bertanya sekian panjangnya pun belum selesai, mencoba untuk tidak mempermasalahkan dengan jawaban singkat yang diterimanya. Ia lalu melanjutkan, "Kelas?"
"Sebelas."
"Wow, berati sama dong! Gue juga kelas sebelas," kata Reza antusias. "Tepatnya gue di kelas MIPA 4. Kalo lo masuk kelas mana?"
Rendra tak menghiraukan pertanyaan yang lagi-lagi Reza lontarkan. Mindanya masih mendalam, memikirkan bagaimana keadaan Keyra.
"Kamu harus baik-baik aja. Kamu kuat, Ra!" batin Rendra, lalu ia mendudukkan tubuh tegapnya yang kini terlihat lesu di bangku panjang yang terletak tepat di belakangnya.
"Za!"
Panggilan tersebut terdengar spontan, hingga membuat pemilik nama terpanggil dan langsung menghentikan pembicaraannya dengan sosok di hadapannya. Valdi yang sengaja memanggil, kini tengah bersandar di ambang pintu UKS. Ia agak mengernyit ketika mendapati sosok yang ia kenal sebagai sahabatnya itu, berceloteh dengan seseorang yang bahkan sama sekali tak mendengarkan. Itu yang ia tangkap.
"Eh, gimana Keyra sekarang? Masih cantik aja kan?" tanya Reza, tak lupa menampakkan cengiran khasnya.
"Dia baik-baik aja selagi nggak ada lo."
"Dih! Gue nanya serius."
"Lo dari tadi berisik sendiri," ucap Valdi, nampak sedikit kesal pada Reza. Bagaimana tidak? Ketika di dalam UKS situasinya tengah berada dalam kegentingan–di mana sedang riwehnya melakukan pertolongan pertama pada korban pingsan, di luar justru mengganggu dengan kebisingan yang Reza ciptakan. Seraya berjalan mendekati kedua manusia yang ada dalam area pandangannya, Valdi sampai dan berdiri sejajar di samping Reza, sementara di hadapannya, Rendra duduk dengan kepala menunduk.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKAR
Teen FictionIni kisah hidup mereka masing-masing, yang justru berakar menjalar menyeruak sampai dalam hingga mereka bersatu bersama, tumbuh menjulang menjadi pohon utuh yang kokoh. Sampai pada masanya, Apa yang akan terjadi jika salah satu dari mereka pergi?