Rencana Pembunuhan

42 22 3
                                    

Pukul 4 sore, Elang mengendarai sepeda motor dari kampus menuju rumah kost. Dalam perjalanan, ia terus saja memperhatikan spion motor melihat ke arah belakang. Hatinya curiga kepada dua orang asing yang sedari tadi megikutinya.

Ia menepi sebentar di pinggir jalan, berharap dua orang asing yang dari belakang mendahului dirinya.

Semenjak mendapat telepon dari Elisa, ia selalu menjaga diri dari orang-orang asing. Meskipun tidak tahu siapa dan maksudnya apa yang Elisa ceritakan, yang jelas Elang berpikir tentang orang-orang yang tak suka pada dirinya.

Elang melanjutkan kembali perjalanannya setelah melihat dua orang yang di belakangnya sudah mendahului.

Kurang dari setengah jam, Elang sudah sampai di halaman kost'an dan memarkirkan kendaraannya. Ia masuk ke dalam, menuju kamar, melepas ransel dan helm yang ia kenakan tadi.

"Dan...!" teriak Elang.

"Dan...!" Elang memanggil Dani kedua kalinya. Namun tak ada sahutan dari Dani.

Ia mencari Dani ke setiap ruangan rumah. Alih-alih Dani tidak mendengar teriakan Elang, ternyata Dani belum ada di rumah.

"Aneh banget, gak biasanya dia keluyuran. Tas kuliahnya juga sudah ada di kamar," batin Elang dal hati.

Elang coba mengambil ponsel dari saku celana, menghubungi Dani yang tak ada di kost'an. Satu kali, dua kali, hingga tiga kali panggilan Elang tak ada respon dari Dani.

Ia membuka pintu, berniat untuk melepas lelah di teras rumah. Tak sengaja Elang melhat satu orang sedang memperhatikan rumahnya dari sudut yang jauh, di balik pepohonan.

Laki-laki asing itu menatapnya, Elangpun membalas tatapan laki-laki itu dengan tajam.

"Siapapun yang mengintaiku, aku tidak akan takut!" batin Elang.

Ia segera menutup pintu rumah, berlari menemui pria yang sejak tadi memperhatikannya.

Belum sempat ia sampai, laki-laki itu berlari menjauh.

"Bajingan! Siapa kalian dibalik semua ini? Apa kemauan kalian?" teriak Elang dengan keras.

Dari sudut lain, Dani yang sedang berjalan kaki menuju rumahnya mendengar teriakan Elang. Ia menemui asal teriakan tersebut.

"Kenapa, Lang?" tanya Dani yang melihat Elang berdiri sendirian.

Elang membalikkan badan, melihat Dani, ia membuang nafas sesaat. "Entah, ada orang yang mengawasiku."

"Pulang, yuk!" ajak Dani.

•••

Elang merebahkan tubuhnya di atas sofa. Begitu dengan Dani, ia melemparkan tubuh di atas kasurnya.

"Kamu kemana aja, Dan?" tanya Elang mencairkan suasana. "Aku telepon beberapa kali nggak diangkat."

"Oh iya, sorry Lang. Tadi aku ada urusan sebentar di rumah teman. Kau sendiri kenapa?"

"Kenapa?" Elang bingung, "maksudnya?"

"Kenapa kau teriak-teriak macam orang gila," ketus Dani.

Elang memejamkan mata, wajahnya menatap langit-langit rumah. "Ada yang mengawasiku."

"Siapa?" tanya Dani dengan penasaran.

"Pastinya, dia yang tidak suka padaku."

Dani bangkit dari tempat tidur, ia mengambil satu buah buku pelajaran yang ia pinjam dari perpustakaan. "Kau tahu?"

Elang menggelengkan kepala. "Elisa telepon aku, katanya dia dalam bahaya. Lalu, dia juga bilang untuk hati-hati aku disini."

"Bah ... orang kampung kau?"

"Iya."

Elang bangkit dari duduk, ia mengambil ponsel Dani yang tergeletak di tengah kasur. Dia mulai mengetikkan email yang ada di ponsel ke dalam ponsel Dani. Kini alamat email Elang tersimpan di dua ponsel.

"Kalau aku nggak bareng kamu, cepat atau lambat kamu buka maps pakai alamat emailku. Lihat posisiku, hatiku sudah mulai tidak enak," ucap Elang.

•••

Malam harinya, Dani dan Elang memutuskan berjalan kaki menuju rumah ketua RT 19 untuk mengadakan pembelajaran baca tulis kepada para warga, menghindari mata-mata yang mengawasi Elang.

Sepanjang jalan, hati Elang merasa tenang karena ada sahabatnya, Dani.
Namun, sebelum tiba di rumah ketua RT. Lagi-lagi Elang menangkap pandangan laki-laki misterius di ujung jalan.

"Dia lagi," ucap Elang lirih hampir tak terdengar.

•••

Sekitar pukul 9 pagi, Elang yang hendak ke kampus juga mengurungkan niatnya memakai motor. Ia lebih memilih memakai angkutan umum untuk menghindari perbuatan yang tidak menyenangkan.

Satu hari berlalu, semuanya lancar tanpa kendala, ia masih diberikan dan dijaga oleh Tuhan. Hingga satu minggu, ia tak lagi memakai motor untuk berpergian. Ia lebih menggunakan angkutan atau sekedar jalan kaki, jika jaraknya dekat.

Sampai dirasa cukup aman, tidak ada orang mencurigakan lagi di sekitarnya. Ia memutuskan untuk mengendari sepeda motornya kembali untuk beraktifitas seperti biasa.

Dalam perjalanan melewati jalanan sepi, suara motor bising khas 2 stroke melaju cepat dari arah belakang motor yang dikendarai Elang.
Kaki kiri pengemudi itu terangkat dan menghantam tubuh Elang hingga dia kehilangan keseimbangan.

Bruaaak...!

Elang terjatuh dari motor ke arah sebelah kiri jalan, tubuhnya terlepas dari motor dan terseret hingga 5 meter. Ia yang masih sadar segera membuka helm yang ia kenakan. Tak lama, ia pingsan menahan rasa sakit akibat gesekan aspal.

Beberapa saat kemudian, seorang warga yang membawa mobil jenis colt diesel melintas di jalanan itu melihat Elang yang sudah tak berdaya.
Ia turun dari kabin mobil dan memeriksa Elang. Tangannya mulai memegang tangan Elang dan leher memastikan detak jantungnya masih hidup.

Setelah yakin bahwa Elang masih hidup, ia segera membawanya ke rumah sakit terdekat.
Dari kantong Elang, ia menemukan sebuah KTP dan ponsel milik Elang. Sayangnya, ponsel tersebut terkunci dan tak bisa dibuka.

•••


Pukul 6 sore, Dani yang merasa keheranan Elang belum pulang coba memastikan kabarnya melalui ponsel yang ia genggam.
Dua kali ia menelepon tak ada kabar, hingga akhirnya ia ingat perkataan Elang untuk mengecek posisi melalui ponsel miliknya.

"Hah!" kaget Dani melihat posisi Elang berada di rumah sakit.
Ia segera memacu sepeda motor pribadinya.

Jalanan sedang macet, jarum jam tak mau menunggu, ia memutuskan untuk mengambil jalan tikus untuk cepat sampai.

"Mbak, disini ada pasien yang bernama Elang?" tanya Dani gelisah.

"Di ruangan mawar nomor lima delapan," jawab petugas informasi.

Dengan langkah cepat, ia menuju ruangan tempat Elang dirawat.
Dari balik pintu, ia melihat Elang terkapar tak berdaya. Seluruh badan dibalut perban dan jarum infus yang menusuk tangan Elang.

ELANG: Di Atas Awan [OPEN P.O]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang