Bab 25 : Tangis

305 16 0
                                    

"Jangan pernah tertawa di depanku ... sebab bisa saja besok atau lusa aku yang menertawaimu balik."

****

Isak tangis memenuhi seisi kamar, tisu-tisu yang berserakan, serta lampu kamar yang temaram sangat mendominasi perasaan dari seorang Aster saat ini.

Ia berkali-kali menyesali kejadian yang menimpanya, bahkan di saat ia terpuruk seperti saat ini tak ada satu orang pun yang peduli atau bahkan mau mendengarkannya. Terlebih Toby.

Ia sendirian di tengah gelapnya malam tanpa ada yang menemani, tubuhnya yang mengurus meringkuk di atas kasur. Cahaya bulan yang masuk melalui celah jendela kamar jadi satu-satunya penerang kegelapan di kamar berukuran sedang ini.

Ia menanggis dengan tersedu-sedu, jari-jari tangannya meremas selimut tebal yang menutupi tubuhnya dengan geram.

"Arrggghhhh! Haaaa... kenapa? Kenapa gue selalu gagal?!" Teriak Aster dengan sangat nyaring, sengaja ia seperti itu sebab ingin meluapkan amarahnya.

Dan entah mengapa di saat-saat seperti ini bayangan wajah Lily melintasi pikirannya, meninggalkan setoreh perasaan benci dan tak suka pada dibenaknya. Ia menatap nanar ke suatu titik sambil memikirkan rencana untuk menjauhkan Toby darinya. Banyak hal, bahkan sampai tindakan paling busuk sempat menyapa isi kepalanya. Namun, dengan tiba-tiba ia tersenyum, seolah puas dengan apa yang ia rencanakan.

Kalau gue nggak layak buat ngedapatin kebahagiaan bersama Toby ... seengaknya lo juga Lily, ucap Aster dalam hati.

,*****

Pada saat yang tak terduga kamu kembali
Membawa senyum yang membahagiakan hati
Entah apa maksudmu datang kepadaku lagi, tapi yang pasti itu membuatku senang.

Terimaka---,

"Hay." Sapaan seseorang yang berdiri tepat di sampingnya membuat ia jadi tersentak kaget hingga menghentikan aktivitasnya untuk menulis.

Lily menari napas panjang untuk menetralisir degup jantungnya sebelum ia menyahuti sesosok laki-laki yang berada di dekatnya saat ini. "Bikin kaget tau nggak?" pekik Lily pada Sony yang kini menatapnya sambil tersenyum geli.

"Sory sory, habisnya lo gue liat senyum-senyum sendiri sih," kata Sony sambil mengambil posisi duduk tepat di samping gadis berkuncir tersebut.

"Btw lo lagi nulis apa sampai bisa se- happy  ini?" tanya lelaki tersebut sambil mencoba mengintip isi buku kecil berwarna merah tersebut.

Dengan segera Lily menutup rapat buku hariannya itu sebab tak ingin ada orang lain yang membacanya. Ia tertawa kecil. "Bukan apa-apa, kok. Cuman lagi nulis kalimat-kalimat pendek aja," ujar Lily, menutupi semuanya. Sony pun hanya mengangguk kecil sebagai tanggapan.

Keduanya pun sempat terlibat obrolan-obrolan kecil sebelum Toby menghampiri mereka berdua sambil menenteng buku pelajaran di tangannya. Ia mengernyitkan dahi sebelum akhirnya ia berdehem. "Ekhem, Lily."

Keduanya membalikkan wajah secara bersamaan sambil mengamati si pemilik suara. Toby pun hanya mengangkat kedua alisnya sebagai sapaan.

"Eh, Toby. Kenapa?" tanya Lily saat lelaki itu ikut duduk di sampingnya.

"Nggak, aku cuman minta bantuan kamu buat ngajarin aku tugas matematika aja. Nggak papa kan?" ucapnya.

"Nggak apa-apa. Mana soalnya, sini kubantuin." Dengan senang hati Lily mau membantu menyelesaikan tugas milik Toby, lelaki itu pun turut memperhatikan penjelasan gadis tersebut.

"Gue juga bisa bantu kalau lo mau." Tawar Sony sambil mencoba untuk melihat soal yang tertera. Namun, dengan segera Toby menahannya agar tak berpindah tangan.

"Nggak usah, makasih. Bantuan dari Lily aja udah cukup," ujar Toby, ia pun kembali untuk mencoba mengabaikan keberadaan lelaki di sekitarnya itu. Sementara Lily pun hanya bisa diam, lalu ia kembali mengajari Toby.

Menyadari kecemburuan yang Toby rasakan membuat Sony tertawa kecil. Menyaksikan interaksi yang terjadi di antara Lily dan Toby membuat ia merasa sedikit lega, bahkan pikirannya yang sempat mengira bahwa mereka berdua sedang musuhan saat itu jadi tertepis seketika.

Sony tersenyum kecil, setelah sadar dari lamunannya ia pun beranjak dari posisinya lalu pergi meninggalkan mereka berdua secara diam-diam sebab tak ingin jadi pengganggu. Pastinya ia tak ingin jadi obat nyamuk.

Sementara itu, dari kejauhan ada seseorang yang memperhatikan kedekatan yang terjadi di antara kedua lawan jenis tersebut. Senyuman sinis terukir di wajah cantiknya, dan entah mengapa, Aster berubah.

,*****

Pada sebuah toilet khusus perempuan Lily tengah berdiri sambil menatap pantulan dirinya pada sebuah cermin yang tertempel di dinding dekat wastafel. Setelahnya ia pun membasuh wajahnya dengan air lalu mengeringkannya dengan handuk kecil yang selalu ia bawa.

Bibirnya tersenyum kecil, seolah merasa bahwa bebannya dalam menghabiskan sisa dari masa putih abu-abunya ini telah berkurang sedikit.

Setelah merapikan sedikit seragam yang ia kenakan dan hendak pergi kembali ke kelas. Secara tiba-tiba seseorang memasuki toilet dan menghalangi jalan untuk Lily bisa keluar.

"Apa mau lo?"

"Santai, Ly. Gue ke sini dengan tujuan baik, kok," ucap Aster sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

"Sumpah gue nggak ada waktu buat ngobrolin hal yang nggak penting sama lo, jadi tolong minggir." Lily mencoba untuk mengalihkan posisi Aster dari depan pintu, namun dengan sigap gadis itu menahan posisinya.

"Gue belum ngasih tau lo hal penting bunga Lily," ujar Aster, sarkastis.

Lily pun hanya bisa diam dan mencoba untuk mendengarkan.

"Secara etis. Gue dan Toby masih pacaran ... Nggak ada kata putus di antara kita berdua. Dan seharusnya lo tau dong kalau seorang cowok yang udah punya pacar nggak seharusnya lo deketin kayak gini? Jujur gue nggak suka, risih. Dari awal gue udah kasih peringatan buat lo supaya ngejauh dari Toby. Lo inget kan?" Kata Aster, berbicara dengan nada mengintimidasi.

Lily mematung seketika saat mendengar kalimat tersebut. Ia tak berkutik.

"Tolong camkan itu," lanjut Aster.

"Tapi sorry, ya bunga Aster. Si Toby sendiri yang ngedeketin gue, dan dari sebelum dia mengenal lo dia udah barengan sama gue," ujar Lily membela diri.

Aster mengepal sebelah tangannya dengan geram di udara, seolah hendak menampar wajah gadis di hadapannya itu. Dengan mungkin ia menahan rasa geram yang menggerogotinya.

Segera Aster pergi meninggalkan Lily di toilet sendirian sebab merasa kesal. Sementara senyum kemenangan sebab bisa melawan terukir di wajah Lily.

,*****

To be continued


Dear My Heart, Why Him? [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang