ONE SHOOT

19 4 1
                                    


Namaku Kei. Sejauh yang aku ingat, aku adalah seorang agen rahasia. Aku tidak yakin bagaimana kalian mengartikannya. Tapi, aku mempunyai tugas khusus untuk, kalau aku boleh menyebutnya 'membunuh' seseorang yang ada di dalam daftar hitam.

Setiap pagi, pasti ada sebuah paket tergeletak di depan apartemenku, berisi perintah untuk menghabisi seseorang. Meskipun begitu, aku tidak sembarangan membunuh orang. Tidak semua permintaan yang dikirim padaku aku terima semua. Aku masih harus menyelidiki lagi semua latar belakang mereka. Walaupun di dalam paket itu sudah berisi data lengkap tentang mereka, menurutku itu tidak cukup. Masih ada satu hal yang sangat penting. Ya, dan itu hanya bisa diketahui lewat pengamatan langsung, olehku sendiri. Untuk yang satu ini aku tidak bisa percaya dengan orang lain.

Lepas dari itu semua. Sungguh, aku benar-benar merutuki diriku karena kecerobohanku hari ini. Saat ini aku sedang berada di sebuah tempat yang benar-benar gelap. Aku tidak bisa melihat sekelilingku. Semuanya gelap. Sempit. Aku juga tidak bisa menggerakkan tubuhku. Sepertinya kedua tangan dan kakiku diikat. Bahkan sirkulasi oksigen pun tidak berjalan dengan baik. Ah, biar kutebak, sepertinya aku dikurung di kotak atau peti. Aku tidak yakin.

Di saat aku sibuk merutuki diriku sendiri, otakku kembali memutar rekaman kejadian sebelum aku berakhir di tempat seperti ini. Kepalaku berdenyut. Semuanya terasa berputar-putar. Sungguh. Sebagai seorang 'pembunuh', kalau aku boleh menyebutnya begitu, aku benci diriku yang seperti ini.

.

.

.

.

.

Tidak terasa sudah sejak pagi tadi aku berdiri di depan pintu ruang makan sendirian. Kalau kuhitung mungkin hampir lima jam aku diam tidak melakukan apa-apa. Aku hanya memperhatikan pintu yang masih setia tertutup itu dengan memikirkan banyak hal di otak.

Sesekali juga ada beberapa orang yang memintaku untuk berhenti. Memintaku untuk kembali ke apartemen. Karena apa yang aku lakukan itu sia-sia. Tapi, aku tidak menghiraukannya. Aku masih ingin berada di sini. Aku masih menunggu tubuhku untuk benar-benar ambruk.

Kulirik jam tanganku yang menunjukkan waktu sudah menginjak pukul 11.00 siang. Lelah. Lapar. Kepalaku berdenyut memikirkan semua kejadian pagi ini. Baiklah. Untuk kali ini saja, aku memutuskan beranjak dari sana. Aku juga manusia. Aku punya batas kesabaran.

Di saat aku hendak melangkahkan kakiku. Tiba-tiba pintu ruang makan terbuka. Menampilkan sosok seorang wanita yang sangat kukenal. Dia tampak terkejut ketika pertama melihatku. Begitu juga aku. Tapi, tidak ada sedikit pun senyuman yang kutunjukkan padanya. Hanya rasa kesal yang menyelemuti tubuhku sekarang ini.

"Kei? Ada apa dengan wajahmu?" tanyanya khawatir

"Tidak perlu bersikap baik padaku. Aku mau bertemu kakak." ketusku

"Dia sedang sibuk. Kalau mau kau bisa menitipkannya padaku."

"Aku tidak percaya padamu."

PLAK

Aku membulatkan mataku lebar-lebar ketika rasa panas menjalar di pipiku. Wanita ini. Berani-beraninya dia menamparku. Karena dari awal sudah terlanjur kesal, aku malah menatapnya tajam. Seperti tidak mau kalah, dia juga melakukan yang sama padaku.

"Sudah bagus aku bersikap baik padamu! Kau tidak tahu tata krama ya?!"

Rasa amarahnya memuncak. Aku bisa melihat dengan jelas dari ekspresi wajah juga nada bicaranya. Daripada aku juga ikut-ikutan marah, karena sungguh aku sudah menahan untuk tidak memukulnya dari tadi, aku lebih memilih untuk pergi.

***

Aku membaringkan kasar tubuhku di tempat tidur. Setelah kejadian di rumah tadi, aku langsung pulang dalam keadaan kesal. Hariku benar-benar buruk. Semuanya terasa menyebalkan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 01, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Red SacrificeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang