Hanif Abdurrauf Sjahbandi ⚽
Setelah mengantar Defia, aku dan Bagas segera mencari tempat nongkrong terdekat, setidaknya ngopi di tengah padatnya Jakarta menjadi kegiatan yang terbaik daripada harus jalan-jalan. Percuma juga kan, selalu macet di jalan, terkena banyak polusi, kulit yang hitam akan semakin hitam. Rencana dengan Bagas memang semacam itu, ngopi-ngopi dulu baru lah setelah itu cari mall, nonton, atau sekedar ke Gramedia untuk beli buku.
"Gue mau tanya, seriusan," kata Bagas melangkahkan kakinya ke jok depan. Dia itu kadang suka nggak sopan, nggak minta berhenti dulu, keluar baru pindah ke jok depan, malah langsung aja dalam keadaan mobil berjalan.
"Lo sopanan dikit, mobil yang nyewa nih, ntar rusak nombok lagi uangnya. Habis jatah gue bulan ini," tegurku sambil melirik Bagas tengah susah payah berpindah dan merapikan tempat duduknya.
"Kalau ada yang rusak gue yang ganti, tenang aja sih!" Katanya lantas menempatkan pantatnya di jok depan, yang tadi diisi Defia sekarang malah diisi Bagas. "Gue seriusan mau tanya."
Kami sampai di sebuah lampu merah tak jauh dari Kemayoran, dari Wisma Atlet yang tengah macet-macetnya. Aku mengambil air mineral lalu menegaknya sedikit demi sedikit.
"Lo emangnya nggak punya nafsu gitu sama istri lo?"
Uhuk, uhuk, uhuk...
"Anjay!" Bentakku pada Bagas karena pertanyaannya membuatku tersedak oleh air mineral. Masih mending botol air mineralnya tidak ikut tertelan.
Uhuk, uhuk, uhuk...
Bagas justru hanya terkekeh sambil mencarikan aku tisu di dalam dashboard. "Gue tanya kek gitu saja sampai kaya habis keselek sianida. Ha ha ha."
"Ahh!" Membersihkan tumpahan air mineral di celanaku dengan tisu, sambil terus mengemudikan mobil menjauhi lampu merah.
"Ha ha ha."
"Tawa lo!"
Kesal juga dengan pertanyaan Bagas itu, apalagi diajukan tepat saat aku menegak air mineral dengan cukup menikmati. Kan bisa ya itu pertanyaan diajukan nanti.
"Ha ha ha. Tapi seriusan gue nanyanya, lo masa' nggak ada nafsu sama dia?"
Aku diam saja. Selama ini aku sibuk adu urat dengan Defia, mana sempat berpikir semacam itu? Tidak ada sama sekali.
"Lo masih normal kan belum homo?"
"Ya enggak lah!"
"Ya makanya masa' lo nggak punya nafsu sama Defia?"
Sekali lagi aku hanya diam, mungkin itu tumbuh jika saja kami saling mencintai, masalahnya kan tidak.
"Ya maksud gue ya, semua mata lelaki itu sama. Pasti deh pasti kalau lihat perempuan itu arahnya kemana bisa ditebak. Itu laki-laki. Makanya kenapa Tuhan sangat mengatur cara berpakaian perempuan begitu ketat? Ya karena semua mata laki-laki itu sama. Nah elo, elo laki kan, Nif? Masa' elo nggak sekalipun gitu berpikir nakal?" Sambil tangannya terus bergerak-gerak.
Aku menoleh pada Bagas sedikit saja. Nyatanya memang sampai saat ini tidak ada pikiran itu. Lantas mau bagaimana lagi?
"Lo lihat Defia nggak pakai kerudung aja deh, udah pasti lo ada pikiran yang enggak enggak kan?"
Menggeleng. "Dia nggak pernah buka kerudung terus lo mau apa? Kek gitu aja dibahas, Gas. Nggak sehat buat yang belum nikah."
"Ya maksudnya kan, lo udah halal gitu, masa' datar aja. Tunggu, Defia belum pernah buka kerudungnya? Terus dia tidur? Yakin lo?"
Mengangguk.
"Wahh, pasangan yang konyol. Gimana gue bisa dapat ponakan kalau tidur aja tutup aurat rapat-rapat?" Mungkin setelah gue pensiun baru dapat ponakan dari kalian. Itupun kalau pernikahan kalian nggak berakhir di pengadilan agama."
KAMU SEDANG MEMBACA
Wisma Atlet Love Story
Fiksi PenggemarDefia Rosmaniar Kubilang aku tidak akan punya kekasih pemain sepakbola, tuntutannya terlalu tinggi, bisa tiap hari oleng kalau harus dengar nitijen mencemooh kekasihku ketika permainannya turun. kalau boleh memilih aku ingin menjadi kekasihnya Pak I...