Hari Minggu pagi setelah selesai menyiapkan sarapan untuk keluarganya, Hinata terlihat sibuk menggunting halaman koran yang pagi itu menyediakan banyak kupon potongan harga. Dia sengaja memisahkan halaman yang akan dibaca ayahnya dan halaman-halaman lain yang lebih banyak memuat iklan dan kupon belanja.
Di lapangan parkir halaman utama komplek apartemen tempatnya tinggal diselenggarakan senam pagi bersama. Kegiatan ini dimulai setiap jam enam pagi sampai selesai. Pesertanya lebih banyak para ibu di lingkungan itu. Hinata biasanya juga ikutan, tapi pagi ini dia nggak punya stamina untuk olahraga karena semalaman Hinata susah tidur.
"Selamat pagi," sapa Hanabi yang pagi itu lagi semangat buat bangun lebih pagi dari biasanya. "Nee-chan, hari ini kita keluar buat shopping."
"Apa?"
Hanabi yang tadinya mau makan sarapan yang udah siap di meja makan, berhenti buat ngobrol hati ke hati sama kakaknya. "Shopping. Aku perlu nasihatmu, pendapatmu, dan Nee-chan yang menemaniku."
Hinata selesai dengan prakaryanya, membersihkan sisa guntingan kertas koran yang berantakan di lantai. "Kau mau belanja apa?"
"Beberapa baju. Aku punya pacar."
Bukan hal yang baru. Hanabi nggak pernah punya masalah dengan hal itu. Prosesnya juga selalu begini. Dia jadian, beli baju baru, putus, baju dijual atau disimpan kalo emang baju itu terlalu bagus untuk dilupain, Hanabi mulai nyari gebetan lagi, dapet, jadian lagi, dan segalanya dimulai dari awal. Yang beda biasanya cuma satu: Selera. Hanabi selalu mengganti seleranya akan cowok.
"Kali ini apa?"
Hanabi nyengir. "Dia kapten klub Sains. Aku pernah jadian sama cowok keren, dan hasilnya, patah hati. Nyoba aja sama cowok yang nggak terlalu diperhatiin." Hinata; seorang pendengar yang baik, mulai tertarik, lagian Hanabi juga emang suka ngobrolin hal ini. "Tau gak, presentasi kesuksesan cowok populer minim banget dibandingin cowok-cowok pinter. Faktanya, cowok pinter lebih punya masa depan dibanding cowok keren. Mereka terlalu pasif soal masa depan sedangkan cowok-cowok pinter emang udah punya masa depan." Hanabi berhenti ngoceh bentar. "Tapi kalo ada cowok keren yang juga pinter, mau deh mati demi ngedapetin tuh cowok." Kalo lo mati, gimana bisa dapetin tuh cowok? Nggak rasional!
Hinata sih maunya komen atau kasih kritikan, yang keluar cuma, "Memangnya kau tidak terlalu muda untuk memikirkan soal itu; masa depan dengan... seseorang?"
"Nggak ada urusannya sama umur," Hanabi nyembur. Cewek itu lalu meneruskan niatnya mengambil sarapan, bertanya kemana dua anggota Hyuuga yang lain. Hinata menjawab sekenanya. Neji ada latihan khusus untuk kompetisi terakhirnya di masa sekolah, tahun ini dia sangat berharap seluruh anggota timnya bisa lolos ke tingkat nasional. Hiashi baru keluar untuk nonton pacuan kuda sama beberapa rekan kerjanya di kantor.
"Uangnya dari mana?"
"Aku kan punya tabungan," jawab Hanabi yang selalu sedia payung sebelum hujan. "Nee-chan juga harus ngikutin caraku."
Hinata mengumpulkan tiga kupon yang sudah diguntingnya dengan rapi di tangan. "Maksudnya?"
"Mengumpulkan uang jajan buat belanja baju." Hanabi juga sering ikutan lomba karaoke atau dance competition di game center. Ada taruhannya, dan dia sering menang. Tentunya semua Hyuuga yang lain lebih milih untuk percaya bahwa Hanabi emang doyan nabung dari sisa uang jajan. Karena emang pada kenyatannya dia selalu bikin kenyang celengannya di kamar.
"A-akan kupikirkan." Hinata pikir, buat apa? Dia kan nggak punya cowok yang perlu dia bikin terkesan dengan baju-baju bagus. Lagian... kalo emang Gaara termasuk dalam kategori cowoknya, tuh orang lagi di Sakishima. Kapan bisa nge-date? Hubungan jarak jauh emang lebih banyak nggak enaknya. Hubungan jarak jauh? Sebenernya mereka udah jadian, belom sih?
KAMU SEDANG MEMBACA
Flirt With the Devil
FanfictionHinata punya penyakit parah: pelor alias nempel molor. Jadi, Hinata pun berguru pada Gaara yang terkenal insomnia. Hinata, berjuanglah! GaaHina all the way~