Surat untuk kawan

5 0 0
                                    

​Aku tak tahu mengapa akhir-akhir ini aku gelisah sendiri, jalanan kota dan wajah-wajah yang aku temui menampakan kegembiraan dan kesedihan dan kerap kali aku bertanya apakah mereka benar-benar merasakannya atau hanya sekedar menjadi topeng saja?

Di balik itu, aku merindukan suasana di mana ada kita. Berjalan mengitari waktu malam di antara sunyi jalan setapak tanah, pohon-pohon dan bunyi dedaunan yang seakan menyambut kedatangan kita dengan ramah tak seperti di kota. Memang ada salam sapa tapi apakah itu memang benar adanya, aku tak mengenal lagi tentang ketulusan di kota. Yang aku tahu kita saling menampakan ketulusan antar kita ketika berada digunung, pantai maupun hutan belantara. Aku bisa melihat itu semua dan tak pernah ada tipu daya.

Aku merindukan saat di mana lita duduk bersama dimuka tenda, membuat api unggun, tukar pikiran dan saling bercanda tawa ria. Aku sangat merindukannya.

Kawan, kutulis ini untuk kalian yang mungkin saja sedang sibuk dengan rutinitas masing-masing begitupula dengan aku yang masih terpenjara oleh kuliah. Kapan kita bisa kembali bersama di antara sunyi gunung dan hutan belantara.

Memang yang dahulu dan sekarang sudah menjadi sangat beda, sudah banyak yang mengkotakan alam ini (gunung, hutan, dan pantai) makna itu seakan pelahan sirna tak jauh beda dengan kota. Mereka dengan seenaknya merusak tanpa merasa sebagai perusak.

Kawan, tulisan ini aku tulis atas dasar rindu. Semoga kita dapat bersama-sama lagi dilain waktu. Aku harap semoga kita dapat bertemu menghabiskan waktu.

Aku yakin kalian juga pasti merindukan hal itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 04, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Surat untuk kawanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang