Dia Laki-laki, Aku Perempuan

3.4K 335 7
                                    

Bibir laki-laki itu... ternyata juga terasa manis.

Dan juga... terasa lembut.

Ada sedikit rasa lain yang timbul karena aroma laki-laki begitu berbeda dengan perempuan. Keringatnya, rambutnya yang berwarna gelap, juga tatapan matanya yang tertuju padaku. Semua hal itulah yang membedakan bibir laki-laki.

Ciuman pertamaku sangat berbeda dari apa yang kubayangkan selama ini. Aku selalu memimpikan sebuah ciuman romantis di bawah sinar bulan kebiruan, di taman dekat danau buatan, dengan pemuda yang berhasil membuatku terhanyut dalam asmara.

Sejak SMP aku selalu berpikir, ciumanku akan terasa seperti es krim yang membuat ketagihan. Manis dan lembut seperti kapas.

Tapi sekarang aku menangis. Ada tangan besar di punggung bawahku, tubuhnya yang tinggi menghimpit tubuhku seakan ingin membenamkanku dalam pelukannya, suara napas tersengal di dekat pipiku, hidung yang membelesak di wajahku, dan bibirnya yang asing di bibirku.

Ini bukan gambaran sempurna sebuah ciuman. Kenapa begini? Kenapa dia melakukan ini? Di koridor sekolah? Di hadapan semua orang?

Aku tak mendengar suara apapun. Kalimat yang saling bersahutan, lenyap. Hanya suara napasnya di telingaku.

Aku kehilangan kemampuanku untuk berpegangan pada waktu. Entah sudah berapa lama dia melakukan ini. Aku mulai kesulitan bernapas. Kapan dia akan melepaskanku?

-:-

Segalanya berawal di hari itu, saat Wali Kelas memintaku mengambil peta Amerika Utara di perpustakaan. Peta berukuran besar itu digulung dan diletakkan di lemari paling atas. Aku tidak mungkin memanjat. Aku perempuan, dan mengenakan rok. Bagaimana kalau nanti ada yang tiba-tiba lewat di bawahku dan hal yang tak kuinginkan, terjadi?

Aku butuh bantuan orang lain.

Saat itu jam istirahat akan segera selesai, perpustakaan hampir kosong. Hanya ada seorang murid laki-laki yang sedang berdiri di dekat jendela, memperhatikanku. Kedua tangannya saling silang di depan dadanya.

"A-ano..."

Dia melangkah, melewatiku lalu memanjat dan meraih peta Amerika Utara yang jadi tujuanku datang ke sini. Tanpa berkata-kata, dia menyerahkannya padaku.

"Ariga—" Ucapan terima kasihku mengambang di udara. Dia berlalu begitu saja.

Aku ingin tertawa, tapi sadar ini tidak lucu.

Hari itu kuanggap sebagai hari keberuntunganku karena dia sudah membantuku.

-:-

Saat pembagian tugas untuk pekan olahraga, Ketua Kelas hanya memintaku bergabung dalam kelompok pendukung. Aku bahkan tak terpikirkan olehnya saat dia membagi tugas murid-murid yang akan berpartisipasi di cabang olahraga yang akan dilombakan. Dia bilang, "Kau lamban, sih."

Aku duduk, tak ada yang memedulikanku. Kebanyakan dari mereka justru malas untuk mengurusi pekan olahraga. "Kalau aku kalah, jangan marah, ya."

"Aku sih nggak akan bisa menang."

Kalau memang begitu, orang yang lamban sepertiku pun seharusnya bisa berpartisipasi.

Setelah bel istirahat berbunyi, aku dipanggil Wali Kelas ke mejanya. Dia minta tolong padaku untuk membantunya membawakan buku-buku tugas yang sudah dikumpulkan. "Kau kan tidak sibuk. Daripada tidak ada kegiatan, membantu akan lebih baik, kan?"

Aku menuruti perintahnya tanpa bantahan. Di sepanjang koridor, semua orang hanya melihatku sebagai bayangan Guru yang sedang berjalan. Setiap saat beliau berhenti karena dihentikan murid, aku juga ikut berhenti. Tak ada yang mau melirik ke arahku. Tatapan mata mereka hanya tertuju pada Bu Guru.

Another ParadoxTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang