Dia Kejam, Aku Bodoh

2.6K 296 6
                                    

Dari semua tempat yang kudatangi, rumah adalah satu-satunya tempat yang membuatku merasa tidak nyaman. Karena di rumah, ada dia.

Aku tak punya ingatan apapun tentang masa laluku. Saat aku terbangun di kamar rawat rumah sakit, dia sudah ada di sana, berdiri di dekat jendela dan memandang langit malam yang gelap. Aku tak mengenalnya, tapi dia mengenalku.

Dia bilang aku tak punya keluarga lain selain dia.

Dengan bodohnya, aku tak menaruh curiga sedikit pun.

Di rumah ini, semua orang dewasa adalah para pelayan, tukang kebun, dan supir. Penghuninya hanya ada aku dan dia saja. Tak ada foto keluarga, lukisan-lukisan, atau bunga untuk memperindah rumah besar yang terasa mencekam ini. Benda-benda seni yang ada hanyalah patung-patung bergaya Yunani yang megah.

Setiap hari aku berangkat dan pulang sekolah bersamanya. Dia tak banyak bicara, tapi tak pernah menyakitiku. Dia jarang tertawa, tapi tak pernah terlihat sedih.

Setiap malam, selalu ada seorang pria berkacamata yang datang membawa laporan keuangan. Setelah itu datang pria lain yang juga akan melaporkan keadaan perusahaan.

Seperti malam ini saat aku dan dia makan malam, pria kedua datang dengan senyum mengembang.

Dia menghentikan sejenak makannya, memeriksa laporan yang baru saja diserahkan.

"Nona Hinata, apa Anda sudah lebih sehat sekarang?"

Aku gugup. Sebelumnya, tak pernah ada orang yang mau mengajakku bicara saat dia ada. Tak ada yang berani membuat suara saat dia ada. Aku terbiasa dengan kesunyian.

Haruskah kujawab pertanyaan itu? Bagaimana jika aku salah?

"Kau menipuku?" dia tiba-tiba bertanya.

Dua orang pelayan wanita yang sebelumnya berdiri bagai pajangan di sudut ruangan, mendadak berubah gelisah. Ada sesuatu yang tak kuketahui.

"Sasuke-sama, saya tidak akan berani—"

Sasuke berdiri dengan cepat, suara gesekan kursi di lantai hampir tak terdeteksi saat suaranya menyerang pria itu bersamaan dengan pukulan kerasnya di wajah si pria.

Pria itu terjatuh di lantai berkat pukulannya.

"Bagaimana, Hinata? Apa yang kita lakukan pada seorang penipu? Kita laporkan pada polisi atau kita habisi saja dia di sini?" Dia menyeringai, melepas semua perasaannya yang liar dan tak kupahami. Aku bisa lihat kekejaman itu di matanya.

Pria itu ketakutan. Aku yakin dia menyesali tindakan bodohnya.

Sasuke mencengkeram kerah kemeja pria itu, memaksa tubuhnya agar berdiri lagi. "Kau harusnya tahu bahwa aku mengetahui segalanya. Menggelembungkan dana dan berharap aku akan membuang uangku untuk kesenanganmu? Jangan pernah punya pikiran sesederhana itu. Kau pikir karena aku masih seorang pelajar, kau bisa membodohiku?"

"S-saya—"

"Hinata?" Dia menunggu ucapanku.

"L-laporkan saja ke p-polisi," kataku.

Sasuke mendengus, pandangan matanya menertawai pilihan jawabanku. Dia menatap si pria, si akuntan yang seharusnya setia. "Hinata hanya merasa kasihan padamu. Kalau saja dia tak ada di sini, maka nasibmu tidak akan seberuntung ini. Kau pasti mati di tanganku."

-:-

Kelas masih sepi saat kami masuk. Sasuke segera mengisi mejanya. Aku terdiam di kursiku. Kuletakkan tas di pangkuanku, mengeluarkan buku untuk jam pelajaran pertama. Lalu tas kugantung di hanger kecil yang ada di sisi meja.

Kurapikan alat-alat tulis, memastikan semua ujung pensil runcing.

Sasuke duduk dua meja di belakangku. Di antara kami, kursi selalu kosong. Tak ada yang mau duduk terhimpit di antara aku dan Sasuke. Pengaturan ini tak pernah berubah meski pengaturan duduk biasa diubah setiap pergantian semester. Aku tak tahu kenapa. Tapi aku tak percaya bahwa ini hanyalah sebuah kebetulan.

Another ParadoxTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang