Enam

161 24 10
                                    

Mulanya, Artha hanya bisa mengerutkan dahi sebagai jawaban atas pertanyaan sederhana namun memiliki sejuta makna tersebut. Bagaimana ya, Artha juga bingung menelaahnya.

Suasana kafe yang selalu sengang, membuat kedua insan berbeda gender serta usia tersebut semakin larut dalam obolan serius mereka. Tentang bagaimana Anyelir yang merasa kecewa lantaran sikap Artha yang tiba-tiba menghindar.

Seperti yang diketahui, dunia Anyelir amatlah monoton. Rumah; melakukan kewajiban sebagai istri dan mengurus Alden. Kafe; mengurus bisnisnya sendirian. Sisanya, hanya Ifan yang menemaninya. Lalu, di saat ia merasa mendapat teman baru yang dirasa nyaman sebagai tempat bersandar. Artha justru menghindari dirinya.

Menyesap cokelat panasnya, Anyelir menunduk. "Jangan hanya karena kau tahu aku sudah menikah maka kau menjauhiku," cicitnya.

Kerongkongan Artha mendadak menempit. Berdehem keras kemudian menenggak cappucino hangatnya, ia mengalihkan pandangannya ke arah lain. Kenapa harus masalah ini lagi?

"Kenapa kau bisa mengatakan hal itu?"

"Eh--aku merasa kau menjauh saat kau tahu aku sudah menikah."

"Nona Anye, kita baru mengenal dalam kurun waktu yang singkat. Apa kau berpikir bahwa aku menyukaimu?"

Bodoh!

Artha mengutuk bibirnya yang sebarangan mengucapkan kalimat bodoh itu. Apa? Kenapa dirinya bisa sebegitu percaya diri sekali?

Senyuman Anyelir terulas tipis. "Aku tidak mengatakan hal itu. Kenapa kau bisa berpikiran seperti itu?"

Skakmat!

Meremas celana kain yang ia kenakan tanpa sepengetahuan Anyelir. Artha bersusah payah mengangkat sudut bibirnya. Ah iya, kenapa ia bisa lupa. Seorang Jovanno Artha Dirgantara adalah orang gila nomor satu seantero kota. Apalagi mengenai masalah asmara. Percayalah, ia memang dinobatkan sebagai pria tanpa kewarasan sepanjang angkatan.

"Ngomong-ngomong, bisa kita lupakan masalah tadi?"

"Masalah yang mana?" tanya Anyelir dengan begitu polosnya.
"Tentang ucapanku barusan. Anggap saja kau tidak pernah mendengar apapun," cecar Artha.

"Kau pikir aku bisa percaya begitu saja?"

Mengedikan bahu. Artha membuang punggungnya pada sandaran kursi. "Entahlah."

Mengerucutkan bibirnya sampai maju beberapa senti, Anyelir melakukan hal konyol yang seharusnya tidak dilakukan wanita kebanyakan. Yang usianya bahkan sudah lebih dari seperempat abad. Ini konyol.

"Ayolah, aku hanya ingin mengajakmu berteman."

Teman ya? Tidak bisakah lebih dari itu?

"Bisa dapat apa aku mau berteman denganmu?"

Kedua mata Anyelir mengerjap cepat beberapa kali. Sebenarnya ada apa dengan pemuda yang sedang menyesap minumannya seraya melirik ke arahnya.

"Baiklah, aku tidak memaksa."

Anyelir putus asa. Melemaskan kedua bahunya. Wanita tersebut ikutserta menghabiskan minumannya dalam sekali tenggak.

Sambil menggelengkan kepalanya perlahan. Diam-diam Artha menertawakan sikap Anyelir yang ia nilai begitu menggemaskan. Terkejut memang. Karena awalnya ia berpikir bahwa Anyelir adalah seseorang yang memiliki pemikiran dewasa. Atau setidaknya, tidak melakukan hal-hal menggemaskan yang kebanyakan dilakukan oleh gadis-gadis yang masih duduk di bangku sekolah.

"Aku mau menjadi temanmu dengan satu syarat."

"Syarat?"

"Beri aku pekerjaan di sini," kelakar Artha dengan nada jenaka. Meskipun itu adalah syarat yang serius ia ajukan untuk Anyelir.

Cappucino LadyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang