Happiness

266 48 32
                                    

Quiesha dan Esa kini tengah berdiri berhadapan dengan wajah sumringahnya." Yang aku bilang kemarin udah kamu kerjain kan?"

Gadis itu mengangguk semangat, kemudian menunjukkan bukunya pada Esa."Wah, jadi kamu udah nulis sebanyak ini? Good job Shakira." Puji Esa, tanpa sadar tangannya terulur untuk mengelus sayang kepala Quiesha.

"Esa, boleh panggil Quiesha atau Caca aja ga?"

Setelah hati dan logikanya sedikit berdebat mendengar panggilan Esa padanya, Quiesha mengatakannya dengan canggung.

"Aku ga boleh manggil Shakira ya? Why? Because there's someone called you like that?"

"Bukan gitu kok,"Quiesha buru-buru mengklarifikasi sebelum Esa salah paham."aku ga mau mengulang kejadian di Jakarta. Aku mau sembuh, kan kamu yang bilang sendiri kalo aku harus mengikhlaskan semuanya dan jadi diri aku yang dulu, iya kan? Sedangkan Shaki itu.."

"Sorry aku udah salah paham. Aku ga lupa, aku inget kok Sha. But, can i call you different than others? Bukan bermaksud apa-apa sih, Cuma aku mau manggil kamu Shakira disaat semua orang manggil Caca atau Quiesha."

Meskipun hatinya dengan tegas berkata tidak, tapi apa daya. Quiesha tersenyum canggung dan mengangguk lagi tapi dengan gerakan pelan, dan Esa yang malang meringis dalam hati melihat bagaimana Quiesha menolaknya secara halus.

"Gimana kalau kita sekarang jalan? Makan ice cream sounds good right?" Ajka Esa yang sebenarnya adalah untuk mengalihkan pembicaraan. Merasa tidak nyaman dalam suasana yang dibuatnya.

Untungnya Quiesha tidak menolak, dan mereka berjalan berdampingan menuju salah satu kedai ice cream yang lokasinya tak terlalu jauh dari tempat tinggal mereka.

Sepanjang jalan mata Quiesha menatap lurus kearah jalanan. Ah, sudah berapa lama dirinya tak merasakan suasana seperti ini? Dulu, jika masih ada Daffa, pasti akan berisik. Karena Daffa akan terus melontarkan gombalan gombalan lucunya untuk Quiesha atau Daffa akan melakukan sesuatu yang manusia normal jarang-melakukannya.

Pernah ketika mereka sedang berjalan sepanjang Orchard Road dengan tangan yang saling bertautan, Daffa melepasnya secara tiba-tiba. Kemudian lelaki itu memegang dadanya dan langsung tergeletak di tanah. Quiesha seketika membeku, panik, tak ada yang bisa dilakukannya selain menangis kencang dan berteriak meminta pertolongan,"Help....Help..Help..Help..Me!!" hingga mereka dikerubungi banyak orang. Namun, saat disaat tubuhnya akan diangkat, Daffa berlutut tepat di hadapan Quiesha lengkap dengan cincin dan cengiran lebarnya,"Quiesha I love so much. Don't leave me okay?" sungguh tidak jelas bukan? Sontak semua yang ada disana berteriak heboh karena keromantisan Daffa. Tapi, berbanding terbalik dengan Quiesha, gadis itu rasanya ingin menendang Daffa hingga tenggelam di pluto. Bagaimana tidak, dirinya sudah kepalang malu karena menjerit-jerit ditengah keramaian dan dengan tidak tau dirinya Daffa bertingkah seolah-olah itu candaan biasa. Jika dulu dirinya kesal bukan main karena tingkah absurd Daffa, Sekarang berbeda. Quiesha merindukan momen itu, dia merindukan sosok Daffa yang seperti itu, dia membutuhkan sosok Daffa yang tiada lelah membuat harinya bahagia.

Esa yang berada disampingnya tertawa miris. Dia begitu pintar untuk menilai situasi, apalagi seperti sekarang. Terlalu mudah baginya untuk menebak apa yang ada di dalam kepala Quiesha.

"Esa, boleh beli bunga yang disana dulu ga?" pinta Quiesha yang kini tengah berbinar menatap bunga-bunga itu.

Esa mengangguk dan membiarkan Quiesha sibuk dengan dunianya.

"Ehmm, Esa, kan aku lupa minta uang sama Mas Rayi. Boleh pinjem uang kamu dulu ga? Aku Janji abis ini langsung mintain gantinya ke mas Rayi."

Astaga Quiesha. Bagaimana bisa hanya dengan berkata seperti terlihat lucu dan menggemaskan dimata Esa? Lelaki itu yang awalnya sedikit kesal, langsung melupakan semuanya. Pertahanannya runtuh begitu saja saat melihat wajah bahagia Quiesha. Hhhh, namanya juga Bucin.

Baby,Good Night! (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang