Mula

1 0 0
                                    

Masa SMA kulalui bak air di sungai berbatas semen, yang mengalun tenang tak bersuara tanpa bebatuan yang menghalangi alirannya. Datar. Semuanya berlalu begitu saja. Tak ada cerita yang membekas dihati.

Tak bisa kubuktikan mitos remaja yang mengatakan bahwa masa SMA adalah masa paling indah. Bagiku, biasa saja. Tiga tahun berhembus tanpa makna.

Tapi, aku juga punya masa kejayaan. Saat aku berada di kelas XI. Era emas ku bermula ketika peri ilmu alumni Unsri yang juga alumni SMA kami datang membawa sekantong penuh ilmu yang akan dibagi kepada kami. Yang tak akan habis walau harus berebut dengan seluruh siswa se-SMA.

Miss Desi, kami biasa memanggilnya. Peri yang menyulap angkernya Bahasa Inggris menjadi mata pelajaran yang ditunggu-tunggu. Aku bahkan terhipnotis pesonanya, hingga punya impian untuk bisa menjadi guru bahasa inggris layaknya beliau.

Beliau membangunkan semangat belajarku yang selama ini dalam dekapan mimpi. Hingga aku bisa meraih peringkat di kelasku. Yang juga membuatku harus meninggalkan singgasanaku dan menempati singgasana yang baru.

Perombakkan siswa kelas sudah menjadi adat ketika kenaikan kelas XII. Aku bersama empat teman harus beradaptasi lagi layaknya siswa kelas X.

“Mutiara walaupun diletakkan di tempat sampah, tetap saja namanya mutiara. Harganya tetap mahal. Kilauannya tetap menawan bagi siapa saja yang melihatnya…”, Pak Giatno menyemangati kami dalam pidatonya dibawah kibaran sang saka.

Mengisyaratkan bahwa kita tidak perlu kecewa dengan adanya perombakkan siswa kelas. Dikelas manapun kita ditempatkan, kita tetap bisa menjadi mutiara seperti mutiara yang dikatakan Pak Giatno.

Tak terasa, hampir dua semester aku berperan sebagai siswi kelas XII. Kini saatnya aku harus menentukan pilihan. Pikiran mengambang kemana-mana. Benar-benar gundah tingkat dewa. Ditambah dengan iklan dari berbagai macam perguruan tinggi dan universitas yang saling mengumbar keuntungan. Membuatku semakin bingung menentukan pilihan.

Ketika itu, aku lebih dominan untuk memilih perguruan tinggi swasta, yang kebanyakan berada di pulau Jawa. Aku merasa mustahil untuk bisa tembus SNMPTN 2012. Ditambah lagi, banyaknya utusan perguruan tinggi swasta yang datang ke sekolah kami. Sekolah pelayaran, perhotelan, komputer, dan masih banyak lagi. Mudah untuk bisa masuk kesana. Tidak perlu tes ini dan itu. Cukup siapkan uang untuk ini dan itu dan semua beres. “Ini yang aku cari..”, gumamku dalam hati. Hingga aku lupa keinginan untuk jadi guru Bahasa Inggris.

Namun, ibu punya pendapat lain. Beliau menyanggah opiniku. Membuang jauh-jauh rencana dadakan yang baru saja kubuat.

“Disini saja banyak tempat kuliah, kenapa harus jauh-jauh ke Jawa?”, sanggahan halusnya membuatku merinding, tak berkutik, tak bisa menyahut.

Tak berapa hari kemudian, seorang teman mengajakku mendaftar registrasi untuk ikut SNMPTN 2012. Aku dibuat gelisah lagi, jurusan apa yang harus kupilih? Ayah dan ibu juga menginginkan aku untuk masuk ke jurusan keguruan. Baiklah, aku setuju. Tapi, benar-benar tak bisa kuputuskan jurusan yang akan kupilih. Aku sudah terlanjur melupakan keinginan untuk jadi guru Bahasa Inggris.

Saran pun datang silih berganti. Hingga ayah mendukungku untuk memilih jurusan PGSD. Baik. Aku turuti. Demi ayah. Sebenarnya, ayahku dulu adalah seorang guru. Namun, karena suatu hal, ayah hengkang dari guru menjadi buruh bangunan. Terharu ketika mengingat bagaimana keringat bercucuran deras membasahi baju lusuhnya. Warna bajunya pudar, bau keringatnya khas, peluhnya berkilau terkena sengatan matahari. Warna rambutnya tidak lagi hitam, hitamnya memudar karena panasnya cahaya matahari.

Aku harus pergi ke Palembang untuk bisa ikut tes SNMPTN. Kota besar yang akrab dengan debu dan asap, dengan jalan rayanya yang meliuk-liuk membelah kota. Aku biasa saja. Padahal belum pernah sekalipun ku jejakkan kaki di bumi Palembang.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 06, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Begitulah MulanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang