I called you everything but not mine

25 4 7
                                    

Hari ini hujan.

Untuk kesekian hujan dibulan ini, hari ini benar-benar kelabu. Lagi, hampir ku tumpahkan air mataku. Lagi, aku menerawang jauh. Tirai kain berwarna awan hujan tertiup pelan, sementara kamarku gelap, agak meremang dari cahaya kelabu diluar sana. Suara rintik hujan dan suara milik Billie Eilish yang lagunya kuputar berulang ulang memenuhi gendang telingaku. Angin dingin menyentuh kulitku, lengan telanjangku meremang, kaus dalamnya yang berwarna putih susu ini, memang tidak ku pakai untuk tameng dimusim hujan. Haha lucu siapa yang pakai kaus dalam saja di musim hujan sih? Kecuali hanya dia.

Waktu sudah pukul dua siang, tapi hujan tidak kunjung reda, percikannya bahkan membasahi sedikit wajahku, ku tebak hidungku sudah memerah diiringi memucatnya wajahku. Kenapa dia lama sekali? Apa perginya memang selama ini? Hatiku sesak hanya untuk menunggu cowok itu. Hatiku sesak kenapa juga dia pergi di hari hujan begini.

Rintiknya makin meledekku, tidak ada petir. Hanya hujan lembut, dan aku masih setia menidurkan kepalaku dimeja belajar tepat didepan jendela, menatap jalanan kota yang sepi dengan beberapa mobil yang lewat. Jalanan basah, dari ketinggian lantai 9 apartment ini, semuanya tampak kecil, lampu-lampu yang membias. Aku lupa dimana kacamataku, semuanya kelihatan buram.

"Kenapa kau masih saja disitu?" Aku hampir saja menutup mataku saat sebuah suara membuatku tersentak.

"Kau! Kenapa lama sekali," aku mengatakannya dengan suara serak.

Cowok itu, tidak memakai apapun selain celana jeans belel, menghampiri ku dari posisinya yang duduk dikasur. Menunduk memelukku dari belakang. Aroma parfumenya dan aroma hujan yang manis menyapa hidungku. Ia beraroma ketenangan. Aku menoleh kearahnya, dia menaruh dagunya ke pundakku sementara matanya menatap langit kelabu, seperkian detik ia kemudian menatapku. Manik cokelatnya buat nafasku hilang seketika. Aku mengerjap kaget saat ia dengan kilat mengecup bibirku. Ia tersenyum geli lalu mulai melihat langit lagi, sementara aku terkikik.

Pelukannya mengendur sementara aku berdiri. Ia meraih kotak musik di mejaku, mengencangkan suara lagu dari alat itu, masih Billie Eilish dengan idontwannabeyouanymore. Suara lembut perempuan itu bersatu dengan rintik hujan.  Aku dan dia sudah berada diatas kasur kami, dengan aku dalam pelukannya. Kami diam dalam posisi tersebut dalam waktu yang cukup lama. Lagu yang sama sudah berulang tiga kali.

Aku sesak. Entah untuk alasan apa. Tangan kanan nya memainkan rambutku lalu tangan kirinya memeluk pinggangku. Aku makin mendekatkan diri ke arah dadanya. Membenamkan diriku disana. Mendengarkan detak jantungnya yang berirama indah.

Aku dulu suka melakukan ini.

"Kenapa terasa sesak?" Ucapku nanar.

"Kenapa kau harus sesak? Ada aku bukan, saat ini?"

Iya, kataku dalam hati. Memang ada dia disini. Tapi hatiku sesak dan bahagia dalam bersamaan. Aku merasa tenang dan gelisah. Aku tenang ia ada disini namun, aku pun gelisah jika dia pergi lagi. Aku tidak ingin dia pergi. Aku benci itu. Mataku memanas hampir saja bulir air mataku jatuh tepat saat ia menangkup wajahku.

Bibir kemerahannya meniup kelopak-kelopak mataku sampai aku terpejam.

"Jangan menangis, aku benci melihat itu. Hatiku yang sesak." Katanya sedikit bergetar. Aku menarik nafas dalam. Meredam sesakku.

Mataku terbuka yang lalu langsung bersitatap dengan maniknya, ia berkaca-kaca. Aku berusaha tersenyum dan menunduk. Rintik hujan semakin membabi buta diluar. Aku benci dan suka cuaca begini.

Tidak ada selimut, pelukannya sudah menghangatkanku. Aku memejamkan mataku dan mengecup bibirnya agak lama, dan ia balas dengan lembut. Sial, aku bahkan rindu bagaimana ia menciumku begini. Aku menyudahi ciuman kami dengan kembali kepelukannya.

Ia terus menerus menghujani kepalaku dengan kecupan ringannya. Kecupannya dingin dan ringan, aku terasa sedang diluar sana, bermain hujan, dingin namun aku bahagia. Ia mengeratkan pelukannya sementara aku menyembunyikan wajahku dalam dadanya. Sesak itu muncul. Aku abaikan, selagi ia bergumam menyanyikan lagu, mengusap punggungku agar aku tertidur.

Sesaknya semakin kentara.

Aku menangis.

Dadanya bidangnya yang terekspos sudah basah akan air mataku dan dia semakin mengecup puncak kepalaku berkali-kali, sembari mengucapkan kata penenang. Semakin lama, udara dingin semakin menusukku. Kecupannya terasa samar, suaranya makin tak terdengar, sementara pelukannya merenggang jauh.

Aku jatuh dalam tidur dengan tangisku yang menyesakkan.

Masih aku sesegukan dalam tidur. Pelukannya tidak terasa lagi.

Suara lembut melodi dari ponselku membuatku mengerjapkan mataku yang basah. Tiada siapapun disebelahku.

Tiada ia.

Tiada laki-laki yang aku cinta sampai mati itu.

Hanya aku sendiri dengan udara yang menusuk.

Hujan masih merintik diluar. Jendelaku masih terbuka, dan kain tirai masih bergerak tertiup angin.

Kamar ku dingin dan kelabu.

Aku meraih ponsel. Lagi dan lagi aku berteriak tanpa suara. Menangis dalam hening.

18.12.18
03.05 pm
Sorry for leaving you without goodbye.
Kalau aku tahu aku akan mati, aku tidak akan membiarkanmu mencintaiku sedalam ini.
Maaf. Aku mencintaimu, sampai mati.


Ini sudah tahun kedua sejak dia menghembuskan nafas terakhirnya. Dalam hujan deras. Ini sudah tahun kedua aku menyalin pesan pengingatnya dalam ponselku. Ia yang membuat, dua tahun lalu, tanpa sepengetahuanku. Yang ku tahu, saat ponselku berbunyi, mesin indikator jantungnya berbunyi juga menampilkan garis lurus.

Dia bahkan tau dia akan pergi, tapi kenapa tidak bilang?
Dia bahkan tahu aku mencintainya sedalam ini.  Kenapa masih juga pergi?

Tangisku masih berlanjut bagai hujan diluar sana. Aku mengalihkan diriku menjadi duduk dengan menatap langit mendung berhujan lagi. Dan lagu Billie Eilish masih meledekku.

Dunia memang setidak adil ini.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 06, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hey, I Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang