"Karina, tolong makan sedikit saja. Bayi kita perlu makanan yang bergizi ... kamu jangan seperti ini, kamu bisa menyakitinya." Entah sudah berapa kali Marshal meminta istrinya itu menyentuh makanan yang sudah mendingin di hadapannya.
Karina, wanita yang sudah sah menjadi istri Marshal itu tampak lebih kurus dari sebelumnya. Wajahnya kuyu, matanya sendu menyimpan kepiluan hidupnya, sesekali matanya bergetar ingin menumpahkan emosi yang tak juga kunjung mereda.
"Aku suapin, ya?" tawar Marshal lagi.
Karina diam, pandangan matanya kosong ke depan. Marshal menghela napas pelan, lantas duduk di samping Karina. Marshal tahu bahwa istrinya itu masih belum bisa menerima dirinya dengan sepenuh hati tapi, Marshal harus tetap menepati janji sakral yang sudah ia ucapkan sendiri.
"Karina, tolong dengar aku ... bayi kita perlu makanan agar dia bisa tumbuh sehat di dalam perut kamu, kalau kamu enggak makan dia pasti juga ikut kelaparan," ucap Marshal seraya mengambil tangan kurus Karina.
"Pergi saja, aku enggak butuh kamu!"
"Astaghfirullahaladzim, Karina. Tolong jangan seperti ini, jangan menyiksa diri kamu sendiri," kata Marshal, "Aku tahu seharusnya ini enggak pernah terjadi tap—"
"Diam!" hardik Karina.
Marshal mengangguk, mengucapkan istigfar di dalam hati dan mencoba mengontrol emosinya yang sedari tadi tertahan, Marshal tetap menggenggam tangan Karina hingga wanita itu mencoba melepaskan genggaman tangannya dengan mengambil sebilah pisau roti dengan mata bergerigi yang ada di atas piring di hadapannya.
"Astaghfirullah! Istighfar Karina, apa yang ingin kamu lakukan dengan pisau itu?!" tanya Marshal agak terkejut.
"Aku benci kamu! Aku benci bayi menyebalkan ini! Aku benci semuanya!" jerit Karina, mengarahkan pisau roti itu ke pergelangan tangannya.
Karina berusaha menyayat pergelangan tangannya dengan pisau roti itu sembari menangis histeris, Marshal dengan bersusah payah merebut kembali pisau roti itu.
"Istighfar Karina, jangan nekat, kamu tahu 'kan kalau bunuh diri juga dosa, jangan menambah dosa lagi!" balas Marshal mencoba merebut pisau roti tersebut.
"Lepaskan, Marshal! Aku mau mati! Lepaskan!"
"Enggak, kembalikan pisau itu," sergah Marshal.
Setelah Marshal berhasil mengambil alih pisau roti tersebut Karina menangis sejadi-jadinya, terisak tak karuan seperti seorang bocah berusia empat tahun yang tak dibelikan permen cokelat oleh ibunya. Marshal hanya bisa tertegun dan berusaha menenangkan Karina yang semakin menangis histeris seperti orang kesurupan. Ia benar-benar seperti orang yang kehilangan kendali hari itu—walaupun begitu Marshal harus tetap menjadi sayap penggantinya.
"Maaf, Karina ... aku benar-benar minta maaf." Hanya kalimat itulah yang keluar dari mulut Marshal ketika melihat Karina menangis sesenggukan.
Sementara itu tangan kanannya sudah menggenggam botol spray kloroform. Dengan segera
Marshal mengambil selembar tissue dapur dan menyemprotkannya kemudian membius Karina agar tidak sadarkan diri dan bisa dibawa ke kamar.
***
"Kamu yakin dia baik-baik saja?" tanya seorang laki-laki kepada Marshal yang sedang duduk dengan kepala menunduk di kursi kerjanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Imperfect Wedding (Indonesian Version)
RomanceKarina. 22 tahun, masih cukup muda untuk berlayar di sebuah bahtera pernikahan yang legal atas agama dan negara. Semua rencana hancur berantakan karena sebuah masalah besar yang kini menghampirinya. Ia dijebak oleh seseorang yang ia...