HAL pertama yang Gina lihat ketika membuka matanya adalah langit-langit ruangan yang berwarna putih. Gadis itu mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali, sebelum akhirnya ia berusaha untuk duduk dan melihat ke sekeliling.
Ini ... di rumah? batinnya. Sejak kapan gue ada di rumah?
Gina memegang kepalanya yang sedikit pusing, lantas teringat sesuatu. Matanya mendelik dan detak jantungnya bertambah cepat. Dengan segera, ia bangkit dari posisi duduknya dan melangkahkan kakinya dengan cepat menuju dapur.
"Eh, Non Gina udah sa—"
"Tadi siapa yang bawa aku ke sini?" potong Gina dan membuat Bi Rosa yang sedang mengelap piring setengah kering untuk dimasukkan ke dalam lemari itu langsung berhenti berbicara.
"Anu ... Bibi sih nggak tau namanya, Non, tapi tadi dia pas dateng bawa kamu tuh babak belur gitu mukanya, kayak abis berantem," jawab wanita bertubuh gempal itu.
"Terus sekarang dia di mana?" cecar Gina lagi.
"Kayaknya sih udah langsung pulang, Non. Soalnya pas Bibi balik lagi buat cek keadaan kamu, dia udah nggak ada. Nggak pamit juga dia," jawab Bi Rosa dan membuat Gina langsung berjalan menuju ruang tamu lagi dan mengambil ponselnya.
Napas Gina tidak teratur sekarang. Matanya basah. Tangannya yang bergetar terus saja menggulir layar ponselnya, mencari satu nama di sana. Gina yakin sekali kalau tadi ia terjebak di tengah tawuran dan hampir saja terkena lemparan batu jika tidak ada orang yang menolongnya. Gina yakin sekali kalau tadi ada orang yang menolongnya, dan orang itu adalah ... Ghana.
Ghana yang juga ikut terlibat dalam aksi tawuran itu.
Kini, pikiran Gina kacau. Bagaimana jika terjadi sesuatu dengan cowok itu? Bagaimana jika ia ditusuk? Bagaimana jika ia ditangkap polisi? Bagaimana jika ia terkena lemparan batu dan tidak sadarkan diri lagi?
Gina terus menerus menggigit bibir bawahnya, sampai akhirnya ia menemukan kontak cowok itu dan langsung menekan tombol hijau. Gina lalu menempelkan ponselnya di telinga sambil terus berharap cowok itu mengangkat panggilannya dan mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Namun nyatanya, yang Gina dapatkan hanyalah suara operator yang mengatakan bahwa nomor yang sedang ia tuju tidak dapat dihubungi. Tangisan Gina tumpah. Ia mencoba menghubungi nomor cowok itu lagi, hingga akhirnya yang ia dapatkan hanyalah keputusasaan.
Nomor Ghana tidak aktif.
***
Sementara itu, tak jauh dari rumah Gina, seorang lelaki tengah mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi. Cowok itu tidak lagi peduli dengan apa yang akan terjadi pada dirinya, karena satu hal yang ia tahu:
Dirinya sudah tidak layak lagi untuk hidup.
Bagaimana mungkin ia bisa hidup sekarang, jika ternyata satu-satunya hal yang dapat membuatnya bertahan hidup kini telah lenyap? Bagaimana ia masih bisa menjalani hidup, jika satu-satunya hal yang memotivasinya untuk tetap hidup itu kini telah hancur? Ghana pikir, Gina adalah satu-satunya kunci kebahagiaannya.
Tapi ternyata ia salah.
Karena Gina pun kini telah menjadi penghancur hidupnya.
Kenangan demi kenangan bahagia bersama gadis itu kembali terlintas di benaknya, bersamaan dengan perkataan-perkataan ayahnya yang membuatnya sadar bahwa kata bahagia memang tidak pantas untuk dirinya. Semua tawa, semua tangis, semua canda, semua luka, kini menghantuinya. Pandangan Ghana kosong. Angin sore bertiup kencang, menghempas wajahnya yang dialiri air mata. Lebam di wajahnya bahkan kini sudah tidak terasa lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
G : GONE (Sekuel G & G)
Teen FictionTidak ada orang yang menyukai kehilangan. Tidak ada juga orang yang mencintai perpisahan. Tapi jika takdirlah yang memutuskan, apakah kita masih bisa melawan? [Lanjutan dari novel G & G. Untuk lebih mengerti alur cerita, silakan baca novel pertama t...