18# Pidato Hanif

26.6K 1.9K 82
                                    

_jika ada malaikat tak bersayap itu adalah ibu_

🌼🌼🌼

Aira masih saja mendiamkan Qiyya, tidak saling menyapa dan selalu terkesan menghindar. Kartika yang mengetahui perubahan sikap anak bungsunya itu segera menanyakan kepada Aira ada masalah apa yang terjadi antara Aira dengan Qiyyara.

"Biar mbak Qiyya merasa Bu, salah apa dia sama aku." Kata Aira ketika Kartika mencoba untuk bertanya.

"Mbakmu tahu?"

"Harusnya tahulah mengapa Aira sampai mendiamkannya selama ini. Bukannya menyelesaikan masalah tapi mbak Qiyya menganggap seolah tidak ada masalah." Kata Aira dengan emosi.

"Tidak diperbolehkan seorang saudara itu saling berdiam diri lebih dari 3 hari. Ini kalian sudah lebih dari satu minggu loh kalau ibu rasa." Ucap Kartika.

"Ibu bilang sama mbak Qiyya, tega main tikung adiknya sendiri." Jawab Aira kemudian pergi keluar rumah.

Kartika hanya menggelengkan kepala. Qiyya sendiri juga tidak tahu jika ditanya sama Kartika perihal ini. Namun jika Qiyya mencoba menanyakan kepada Aira pasti akan timbul perang dunia ketiga. Qiyya itu lembut tetapi tegas sedangkan Aira itu keras dan juga tegas.

Qiyya berjalan menghampiri ibunya di ruang TV. Mengajak ngobrol ibunya sambil melepaskan lelah dan rencananya meminta izin Kartika untuk mengantarkan Hanif ikut lomba pidato ke Malang besok pagi berangkat ba'da subuh. Sambil memijat kaki ibunya yang diletakkan Kartika di kursi, Qiyya menanyakan kondisi ayahnya.

"Kondisi Ayah bagaimana Bu, tidak ada kendala kan?"

"Ayah sudah baik, tapi Ibu masih melarang untuk bekerja penuh waktu. Biar bisa beristirahat." Jawab Kartika.

Qiyya pelan-pelan memijit kaki ibunya. Ia merasa jika usia ibunya sudah tidak muda lagi, sudah saatnya dia mengambil beban yang ada di pundak orang tuanya.

"Kamu kenapa to Nduk sama adikmu, ada masalah apa? Nggak baik saudara itu diem-dieman kaya orang lain nggak saling kenal," tanya Kartika.

Sebenarnya Qiyya juga bingung Bu. Qiyya ini salah apa sama dik Aira sampai dik Aira bersikap seperti itu pada Qiyya."

"Sikto, opo kowe ora takon to karo adimu?"  tanya Kartika. --Sebentar, apa kamu tidak tanya dengan adikmu?--

"Sampun Bu, ning nggih ngoten punika. Dik Aira mlengos njur ngaleh, mendel kemawon. Lak nggih mbingungke to?"  jawab Qiyya. --Sudah Bu, tapi ya seperti itu. Dik Aira membuang muka lantas pergi sambil diam saja. Jadi membingungkan?--

"Kuwi mau tak dangu kok njur dijawab matur neng mbak Qiyya tego nlikung adine dewe. Ono opo to nduk?" tanya Kartika dengan nada penuh kekhawatiran. --Tadi ibu tanya tapi dijawab katakan sama mbak Qiyya tega dia main tikung adiknya sendiri. Ada apa sebenarnya?--

"Maksud Ibu nikung dik Aira begitu?" tanya Qiyya yang mulai mengerti pangkal masalahnya dimana. "Ibu, amplop coklat yang dibawa ayah itu apa pernah dilihat dik Aira?" tanya Qiyya kepada Kartika.

"Lah iya, pagi itu waktu mau berangkat ke rumah sakit. Adikmu melihat kondisi ayah. Pas ibu lihat dia membaca CV yang kamu serahkan kepada ayah, ibu bilang kalau pria itu mengajakmu ta'aruf." Jelas Kartika.

Akhirnya Qiyya mengerti pangkal masalahnya dimana. Bukan tidak mau mengerti perasaan adiknya. Tapi Qiyya sudah menentukan pilihan untuk hidupnya mendatang. Aira pasti akan mengerti dan memahami.

"Oh iya Qi, kamu sudah menjawab ajakan ta'aruf kemarin?"

"Sudah Bu."

"Terus bagaimana kelanjutannya?"

KHITBAH KEDUA [Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang