Pada kesempatan kali ini--kiranya nyaris sama dengan kesempatan yang lalu, kamu memaksaku untuk bercerita. Tentang apa saja yang kuketahui, alami, atau juga yang sembarang kusaksikan. Saat yang lalu aku memilih diam, mengacuhkan inginmu yang sebenarnya sulit padam untuk tidak bercerita. Bukan karena akhir-akhir ini aku tidak mengetahui, alami atau menyaksikan sesuatu yang baru... Atau bahkan terburuknya imajinasiku yang mandek. Jangan cemburu. Aku sedang memendam rasa yang menggebu-gebu kepada seseorang yang berjenis kelamin perempuan. Bintang dan Alam. Ah, dapatkah rasa itu aku katakan sesuatu yang bodoh, sebab aku pendam karena mengetahui ia menipu aku yang tidak tertipu? Hah! Tidak mengenakkan... Aku berharap ia sadar bagaimana caranya mengizinkan aku sekadar menyapa 'Hai'. Ya, aku berharap. Berharap. Eh, jangan berani-beraninya mengatakan aku yang bodoh!
Kesempatan yang lalu biarlah berlalu, mari kita kembali pada kesempatan kali ini. Saat kamu masih memaksaku untuk bercerita maka kupilih cerita yang masih hangat di dalam kepalaku. Cerita ini didasari dari kekagumanku pada lagu-lagu Beatles, tapi tidak ada kaitannya dengan esensi dari lagu-lagu mereka. Ini murni imajinasiku. Juga kau tahu bukan akhir-akhir ini seringnya aku mendengarkan lagu-lagu Black Flag, Bad Relligion, Cobra, Flipper dan Ramones.
Cerita ini mengenai hal-hal yang tidak berjenis kelamin, tidak ber-Tuhan, yang sesungguhnya TIDAK ADA. Tapi aku sangat bangga, pada dasarnya ketidakadaan adalah suatu misteri yang harus kutentukan, antara mencarinya atau mengabaikannya. Aku pilih kedua-duanya. Baiklah... aku akan membuka kamu dan kita mulai saja. Begini kisahnya...
Di sebuah restoran yang selalu sepi pengunjung, laki-laki duduk di meja nomor tiga, seorang diri. Ia tidak sedang menunggu pelayan menghampirinya dan bertanya 'mau pesan apa,' karena dua gelas minuman yang ia pesan sudah ada di atas mejanya beberapa saat yang lalu. Tidak juga sedang menunggu rekan bisnisnya, karena ia tidak senang berbisnis di restoran. Kekasihnya? Benar! Ia sedang menunggu kekasihnya dengan raut wajah gelisah. Meski bukan ia yang mengajak bertemu, ia memutuskan untuk datang lebih awal.
Pikirannya sedang kacau, akhir-akhir ini ia selalu merasakan sesuatu yang tidak mengenakkan. Semacam ia akan mengalami kejadian yang buruk tapi rasanya seperti benar-benar sudah terjadi. Sebenarnya, tidak tahu pasti kekacauan yang melanda pikirannya saat ini berawal dari apa. Apa karena ia selalu bermimpi buruk yang tidak jelas. Atau, kejadian buruklah yang mendasari ia bermimpi buruk? Ia tidak menemukan jawaban. Tanpa sadar, ia mengatakan sesuatu. Dan mencoba memahaminya.Joona : "Kepala tidak ada. Mati."
Tetap saja. Ia tidak memahami perkataanya sendiri yang ia katakan tanpa disadarinya itu. Saat ini ia tampak gusar, seperti seseorang yang dipaksa bermain puzzle--potongan-potongan gambarnya hilang. Ia semakin gusar, ketika ia melihat seekor kecoa yang seakan mengejeknya karena tidak bisa memahami perkataannya sendiri. Sekejap kecoa itu dihabisinya. Kecoa yang malang.
Joona : "Jelas, aku ini manusia, bukan kecoa yang bisa hidup tanpa kepala. Pikiran gila macam apa ini!"
Akhirnya ia menyerah dan mencoba berdamai dengan pikirannya.
Joona : "Apa yang salah dengan pikiranku sekarang ini? Aku seperti orang gila, meski aku tak tahu bagaimana rasanya menjadi orang gila. Seingatku, aku belum pernah menjadi gila," Diam sesaat, memerhatikan sekeliling. "Sangat sepi, sepertinya di sini tempat yang tepat untuk mencurahkan segala penat. Ya, cocok sekali. Wah, jam berapa ini? Tidak biasanya dia datang terlambat. Selagi menunggu, bagaimana bila aku memikirkan apa yang mau aku ceritakan padanya. Atau mungkin aku harus memikirkan cerita humor saat dia datang? Tidak, tidak, dia tidak terlalu suka humor. Gombalan? Apalagi! Bisa-bisa aku ditabok olehnya kalau sering kali menggombal. Oh, ya, horor! Dia sangat menyukai film-film atau novel-novel horor. Mungkin seperti ini pembicaraannya,
'Sayang, apa yang akan kamu lakukan bila kamu menjadi hantu?'
'Hantu yang seperti apa, sayang?'
'Hantu yang seperti di film-film horor yang biasa kamu tonton.'
'Oh, hantu-hantu bergentayangan?'
'Iya, sayang, seseorang yang menjadi hantu karena mati penasaran.'
'Aku tidak tahu, sayang. Aku pikir, aku tidak akan melakukan apa-apa jika tanpa kamu.'
'Kamu bisa saja, ih sayang. Aku jadi terharu dan malu.' Eh, apa ini? Rasanya hati ini berdebar-debar sangat cepat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kecoaisme
Short StoryKamu terus-menerus memaksaku untuk bercerita maka kupilih cerita yang masih hangat di dalam kepalaku. Cerita ini didasari dari kekagumanku pada lagu-lagu Beatles, tapi tidak ada kaitannya dengan esensi dari lagu-lagu mereka. Ini murni imajinasiku. J...