Ini sudah 19 jam sejak terakhir kali Ghana merasa hidup.
Cowok itu kini sedang duduk di kasurnya dengan tubuh yang penuh dengan luka lebam dan pandangan yang kosong. Kedua kakinya ia luruskan dan badannya ia sandarkan pada sandaran tempat tidurnya. Tirai kamar yang sedikit terbuka membuat sinar matahari menyusup masuk dan menerangi seperbagian kamar itu. Ghana memang masih bernapas, namun jiwanya terasa mati. Jantungnya memang masih berdetak, tetapi hatinya terasa kosong. Hampa. Seperti rumah yang ditempatinya sekarang ini. Tidak ada lagi kehidupan di dalamnya. Semuanya sunyi, dan Ghana benci kesunyian ini. Kesunyian yang mencekam. Kesunyian yang perlahan-lahan membunuhnya.
Di tangannya masih terdapat buku bersampul merah muda yang ia ambil dari tumpukan barang-barang ibunya. Di dalam buku itu, tertulis segala rahasia tergelap keluarganya. Di dalam buku itu, mimpi buruknya seperti digambarkan secara nyata. Dan sesungguhnya, Ghana sangat teramat tidak ingin menerima kenyataan ini. Ghana tidak bisa menerima bahwa ternyata ibunda dari gadis yang ia cintai merupakan sumber dari keretakan keluarganya. Sumber dari perpecahan antara ayah dan ibunya bertahun-tahun lalu.
Detik demi detik berlalu, dan Ghana kembali mengingat setiap perjumpaannya dengan ibu Gina. Mungkin sebenarnya Semesta sudah berulang kali mengingatkannya akan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi, namun dirinya yang sudah terlanjur larut dalam kebahagiaan fana tidak menyadari hal itu. Dan di dalam keheningan kamarnya, Ghana tertawa parau. Ia menertawakan takdirnya yang berujung jurang tanpa batas tersebut, sambil kembali menikmati sisa-sisa kenangan indahnya bersama Gina, sebelum akhirnya semuanya itu termakan habis oleh rasa sakit yang tiada tara.
***
"980 ml air didihkan pada sebuah wadah bersuhu 20 derajat celcius. Hitunglah berapa volume air yang tumpah—astaga. Gue baru tau kalo ternyata anak IPA tuh sekurang kerjaan ini," tutur Gea yang sedang membaca buku catatan Fisika milik Gina.
"Ya gitu deh. Nyamuk lagi terbang aja disuruh itungin berapa kecepatannya," balas Gina. Kini, mereka bertiga—bersama Naufal, tentunya, sedang belajar bersama di rumah Gina. Ya memang lomba cerdas cermatnya masih dua bulan lagi, tapi kan sebelum itu mereka masih harus mengikuti tahap seleksi yang diadakan di setiap provinsi. Jadi ya mau tidak mau mereka harus belajar lebih giat agar kelak bisa lolos dan mengikuti perlombaan di Bali.
Gea menghela napas, lalu menutup buku catatan Fisika Gina. "Untung gue masih disuruh ngitungin duit."
Gina terkekeh pelan sambil membolak-balik buku Fisikanya. Bertepatan dengan saat itu, Naufal yang baru saja kembali dari toilet langsung mengambil tempat duduk di sebelah Gina dan bertanya, "Udah selesai?"
"Hampir sih, nih cek dulu aja." Gina lalu memberi buku latihannya kepada Naufal dan kembali melihat soal-soal yang lainnya.
"Nomor tiga ada yang kurang teliti tuh," ucap Naufal dan mengembalikan buku Gina kepada pemiliknya.
"Eh masa sih? Perasaan tadi udah ben—eh iya deh belom gue ubah satuannya ke meter. Hehehe," kekeh Gina sambil mengambil bukunya lagi.
Dua jam sudah berlalu dan kini saatnya bagi Gea untuk pulang. Naufal sih ditahan Gina, karena katanya ada sesuatu yang ingin gadis itu ceritakan. Jadi setelah mengantar Gea keluar, Gina kembali naik ke ruang tamu di lantai dua dan duduk di hadapan Naufal.
"Jadi gini ...," Gina melipat kedua kakinya sehingga kini ia duduk bersila, lalu menggoyang-goyangkan badannya ke depan dan belakang. "Menurut lo, kalo cowok bales lama itu, berarti dia lagi ngapain dan kenapa?"
Naufal mengangkat satu alisnya. "Lo tahan gue cuma buat cerita gini?"
"Ihh, ayolah bantu gue, gue lagi bingung, Fal," bujuk Gina karena tadi Naufal hampir saja berdiri dan beranjak pergi.
"Ya terus?"
"Plis, plis. Gue lagi galau parah," mohon Gina sambil melipat kedua tangannya dan memajukan tubuhnya.
"Emang siapa sih? Cowok yang lo bilang waktu itu?" tanya Naufal. Gina mengangguk. Naufal lantas menghela napasnya dan melihat ke arah lain. "Ada-ada aja sih lo pake deket-deket sama cowok segala. Ribet kan jadinya."
"Ya masa gue nggak boleh deket sama cowok?"
"Ya emang deket sama gue aja belom cukup?" tanya Naufal lagi dan membuat Gina berhenti berbicara dan menaikkan satu alisnya.
"Ya beda donggg. Lo kan temen gue dari kecil, Naufallllll." Gina memundurkan tubuhnya lagi sambil menatap Naufal dengan bibir yang ditekuk ke bawah.
"Yaudah kenapa cowok lo?" Naufal menyandarkan tubuhnya pada tembok dan melipat kedua tangannya di depan dada. Mereka berdua kini sedang duduk lesehan di lantai dengan karpet sebagai alas mereka.
"Dia ngilang dari kemaren," jawab Gina polos.
"Udah lapor polisi?"
"Ihhh apaan sih lo sama Leah sama aja. Dikata Ghana diculik kali."
"Ya lagian bilangnya ngilang gitu."
"Ya maksud gue tuh nggak ada kabar, Naufal. Susah sih nggak pernah deket sama cewek," telak Gina langsung.
Naufal berdecak, kemudian memutar bola matanya. "Ya terus, apa lagi?"
"Ya gue bingung gitu mau nyari dia kemana. Gue telpon dia nggak diangkat, gue chat dia nggak dibales-bales. Terus gue harus gimana dong?" cerita Gina.
"Lo tau rumahnya nggak?"
"Enggak."
"Lo nggak punya kontak temennya sama sekali? Atau sekedar tau gitu, yang mana temennya?"
"Enggak."
"Ck. Susah sih nggak pernah deket sama cowok." Naufal membalikkan perkataan Gina tadi dan membuat Gina langsung beranjak dari tempat duduknya untuk mencubit cowok itu.
"Emang rese lo ya!" Gina balik ke tempat duduknya lagi, sementara Naufal masih tertawa.
"Ya lagian lucu. Lo nggak tau apa-apa tentang dia, tapi udah bisa suka. Emang ya cinta itu buta," komen Naufal dan membuat Gina menatap tajam cowok itu. "Ya lo cari tau lah siapa temennya. Dia anak Taruma Negara kan? Tanya aja noh ke si Fanya. Satu sekolah kan mereka? Siapa tau dia tau."
"Ya tapi gue malu, Naufal. Tar tuh anak ceng-cengin gue. Males jadinya," keluh Gina.
"Ya lo pengen tau kabarnya Ghana nggak?"
Gina mengangguk. "Mau."
"Yaudah tanya."
***
Langit tampak mendung ketika Naufal pulang dari rumah Gina. Benar saja, karena beberapa menit setelah itu, hujan turun. Gina yang masih memikirkan saran Naufal itu terus berjalan bolak-balik di kamarnya. Apakah ia harus melakukan hal ini? Gina lalu kembali melihat ponselnya dan mengecek kolom obrolannya dengan Ghana. Pesannya masih belum dibaca. Karena didorong oleh rasa penasaran yang amat kuat, Gina akhirnya memutuskan untuk pergi ke kamar Fanya dan mengetuk pintu kamar gadis itu.
"Nya? Gue boleh masuk nggak?" tanya Gina, namun tidak ada jawaban. "Nya?" Gina akhirnya membuka pintu kamar gadis itu dan melihat Fanya yang sedang tertidur di meja belajar dengan buku Kimia terbuka di sampingnya. Perlahan-lahan, senyum Gina merekah, lalu menggoyangkan tubuh gadis itu pelan. "Nya, bangun, jangan tidur di sini."
Mata Fanya perlahan-lahan terbuka, lalu gadis itu kembali duduk tegak dan menatap Gina. "Ngapain lo di sini?"
Gina terdiam sebentar sebelum akhirnya ia berkata, "Lo ... mau makan ke luar nggak?"
***
YEY DOBEL UPDATE!❤️
btw kalian udah mulai tau dong masalah yang dialami Ghana itu kayak gimana? Hehe. Selengkapnya di part-part berikutnya ya! Makanya ikutin terus oke? Jangan lupa vote dan komen yaa! Thankyouu♥️
KAMU SEDANG MEMBACA
G : GONE (Sekuel G & G)
Подростковая литератураTidak ada orang yang menyukai kehilangan. Tidak ada juga orang yang mencintai perpisahan. Tapi jika takdirlah yang memutuskan, apakah kita masih bisa melawan? [Lanjutan dari novel G & G. Untuk lebih mengerti alur cerita, silakan baca novel pertama t...