Mimpi Besar dari (J)iar Priyangan

12 0 0
                                    

Hujan tadi siang meninggalkan tetesan embun di atas daun talas milik keluarga Boedijan. Sama seperti hari-hari hujan lainnya, anak-anak desa Jiyar Priyangan melompat-lompat dengan ceria dan tanpa dosa dalam kubangan lumpur dengan diameter yang cukup luas untuk menampung tujuh anak-anak kurus berusia tujuh sampai tiga belas tahun sekaligus. Namun, berbeda dengan anak-anak Jiyar Priyangan lainnya, Puma memilih duduk disamping ibunya di beranda rumah sambil memerhatikan anak-anak lain bermain atau sesekali memerhatikan kakak perempuannya, Anelis, yang sedang menyapu.

"Lis, kamu nyapu itu mbok yo agak nunduk yang benar, nyapumu itu nggak kayak perempuan", ujar ibuk pada Anelis yang lalu dibalas dengan anggukan.

"Kalau bukan wedok nyapunya nggak nunduk nggak apa-apa gitu, bu?", Puma bertanya setengah serius kepada ibunya.

"Ndak usah kamu pikirin. Bersih-bersih rumah itu tugasnya perempuan, kamu nanti sudah besar tugasnya kerja cari uang", balas Ibu sambil kembali menganyam ketupat.

"Aturan dari mana bu yang begitu itu?", Puma kembali bertanya sambil mengerutkan dahinya, Anelis melirik adiknya sambil sedikit melotot, mengisyaratkan adiknya untuk berhenti bicara.

"Yang begitu sudah kodrat, 'ndak usah kamu sibuk pertanyakan lagi. Perempuan ya di rumah, laki-laki ya cari nafkah. Sudah kamu mandi sana, sudah mau maghrib", jawab Ibu.

Pembicaraan macam ini terjadi hampir tiap hari di kediaman keluarga Boedijan. Kan bisa ibu bilang ke kakak untuk membungkuk supaya menyapunya lebih bersih, kenapa harus membungkuk karena kakak perempuan? Tidak masuk akal, ujar Puma dalam hati.

Kali ini, rasanya Puma benar-benar gemas dengan jawaban-jawaban ibuk. Minggu lalu, ia mencoba menggantikan tugas Anelis untuk membersihkan halaman rumah. Ia merasa ingin membantu karena kakaknya kelihatan sedang asik membaca buku yang diam-diam diberikan oleh mahasiswa yang berkunjung ke desa. Belum sampai dua menit dia membersihkan kotoran ayam didepan pohon pisang, ibuk sudah beteriak di dalam rumah pada Anelis. Ibuk marah karena Anelis lebih memilih membaca buku dibanding menyapu halaman dan lebih parah lagi membiarkan adik laki-lakinya yang membersihkan halaman.

"Lis, kon iku yo opo toh? Adikmu kamu suruh bersihin halaman kamu enak-enakan baca buku. Buku darimana itu? Buku tentang londo-londo rambut pirang itu toh? Arek wedok kok lupa sama tugasnya!", ujar ibuk dengan gusar pada Anelis.

"Keluarga Koh Liang minggu depan datang bawa anaknya kesini dan kamu ngurus rumah saja belum bisa? Bagaimana mau jadi istri yang baik? Jangan sampai bapakmu lihat kamu seperti ini, bisa marah dia", lanjut Ibuk sambil melemparkan pandangan kesal pada Anelis. Anelis hanya menunduk sambil menahan tangis dan meremas tangannya. Puma menatap Anelis dan ibunya dari halaman dengan perasaan bersalah yang teramat besar. Memangnya salah kalau kak Anelis mau membaca buku favoritnya? Kami kan bisa bergantian membersihkan halaman, ujar Puma dalam hati. Diam-diam dilihatnya Anelis terisak sambil lanjut membersihkan kotoran ayam di halaman yang belum selesai dibersihkan Puma. Puma berusaha minta maaf setiap kali hal semacam ini terjadi, tapi kak Anelis biasanya hanya tersenyum sambil berkata, "Anak baik, kakak saja yang bersihkan ya. Kamu lanjutkan baca bukunya sana, nanti ceritakan ke kakak ya".

Memang tak dapat dipungkiri, Desa Jiyar Priyangan memiliki pemandangan yang luar biasa indah—bahkan mungkin pemandangannya tidak kalah dengan lukisan Wintry Groves and Layered Banks yang dilukis oleh Dong Yuan pada Zaman Lima Dinasti China. Udara yang begitu sejuk dan nuansa alam yang begitu bebas dan tenang memang luar biasa menakjubkan. Namun diluar seluruh keindahan itu, perempuan-perempuan yang lahir dan tumbuh di Jiyar Priyangan tidak sebebas itu dalam menentukan pilihan hidupannya. Sudah menjadi hal yang wajar melihat gadis-gadis belia yang bahkan usianya belum sampai enam belas tahun menggendong bayi yang merupakan anak-anak mereka sendiri, kebanyakan gadis-gadis ini putus sekolah dan dipaksa untuk menikah di usia yang sangat muda. Mereka biasanya dinikahkan dengan saudagar dan pengusaha dari kota. Sebagai imbalannya, keluarga si gadis akan lebih terjamin secara finansial dan beberapa orang tua mereka bahkan bisa saling adu hebat tentang dengan saudagar mana anak gadis mereka dinikahkan dan siapa yang lebih kaya. Setiap gadis yang lahir dan tumbuh di Jiyar Priyangan tahu betul bahwa ketika mereka menginjak usia empat belas atau lima belas tahun maka mereka harus sudah siap untuk dibawa ke kota dan bertemu keluarga saudagar tertentu untuk menikah, membantu kebutuhan finansial keluarga dan terbebas dari olokan 'tidak laku' yang dilontarkan oleh tetangga-tetangganya. Salah satu gadis tersebut adalah Anelis, kakak Puma yang berusia enam belas tahun. Ibuk dan bapak sudah merencanakan pernikahan Anelis sejak usianya empat belas. Rencananya, Anelis akan dinikahi oleh anak bungsu Koh Liang—pengusaha karet tersohor di kota. Ia akan menjadi istri ketiga si bungsu. Anelis tidak bisa berbuat banyak, tidak juga punya bayangan tentang apa yang bisa dilakukan dengan hidupnya jika bukan menikah di usia yang muda. Dia tidak punya hak yang sama seperti adiknya untuk menempuh pendidikan. Namun, dia bangga adiknya memanfaatkan hak tersebut dengan baik. Puma rajin pergi ke perpustakaan kota dan berbagi tentang apa yang dipelajarinya di sekolah dan perpustakaan. Di sekitar bulan Maret tahun lalu, sekelompok mahasiswa datang ke desa untuk melakukan penelitian. Salah satu mahasiswa tersebut bertemu Anelis dan memperkenalkan Anelis pada kehidupan di luar desa dan apa yang terjadi di belahan dunia lain—sesuatu yang sama sekali tidak pernah terlintas dalam pikiran gadis Jiyar Priyangan manapun. Sejak saat itu, Anelis punya mimpi untuk dapat bersekolah dan menjadi guru.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 27, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

A Book Full Of Thought (bahasa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang