Episode - 32: Sentralisasi [END]

267 27 156
                                    

          
"Gua ..."

Suara gema Dhani langsung dipotong Obi, "Ngomongnya nanti aja, Dhan. Mau fisik kita kembali seperti semula nggak?"

"Ya jelas mau dong." Dhani menjawab dengan sekali tarik napas.

"Ya udah mukanya nggak usah bingung gitu, Dhan."

Dhani masih menebarkan pandangan pada ruangan serba putih yang seakan tidak ada ujungnya. Baru bergerak selangkah, Obi sudah menarik tangan Dhani. "Ih apaan sih, Bi. Aku, kan, mau lihat-lihat?" protes Dhani.

"Nanti kalau tersesat gimana, bingung mau balik pusing ntar. Udah kakek-kakek juga," balas Obi dengan gerutuan.

Dhani dengan wajah cemberutnya berjalan sedikit menjauh dari Obi. Lelaki tua itu menggerakkan mulutnya ke berbagai arah. Gerakannya seakan mengucapkan sumpah serapah atas kekesalannya. Padahal dia cuma ingin berjalan-jalan sejenak. Dhani melirik Obi yang sudah memejamkan mata dan mengatupkan tangannya.

"Idih sok serius amat, belum tentu ngefek," gerutu Dhani skeptis. Namun, pada akhirnya Ia mengikuti gerakan Obi tadi.

Obi menajamkan konsentrasi sembari menaikkan sedikit katupan tangannya menuju dada. Dia sudah merasakan Dhani mengikuti gerakannya. Lelaki itu mengikuti gerakan yang sempat diperagakan Badrian hingga sepercik cahaya kuning keluar dari apitan telapak tangan. Cahaya itu makin lama makin besar, begitu juga dengan kedua tangan Obi dan Dhani yang terbuka lebar.

Suara keduanya lalu menggema. "Kembalikan jiwa yang tertukar ini ke tubuh kami masing-masing sesuai momen yang kami alami saat ini. Permainan pun sudah berakhir ... satukanlah dunia ini agar tetap tentram walau badai terus menghadang."

Warna kuning keemasan dalam jam saku Obi perlahan muncul seluruhnya. Batu Palamea mengeluarkan asap hijau yang menambah warna dalam percikan cahaya tersebut. Obi dan Dhani saling berhadapan, lalu melempar cahaya tersebut, membiarkannya menghisap tubuh keduanya selama beberapa menit.

Cahaya kuning tersebut memudar, menyisakan dua manusia dengan mata terpejam. Obi membuka matanya terlebih dahulu, memeriksa seluruh tubuhnya. Terakhir, Ia meraba bagian belakang pundaknya, merasakan tekstur tanda lahirnya. Hal yang sama juga dilakukan oleh Dhani, seluruh tubuhya tidak mudah encok dan bikin demam seperti tahun-tahun sebelumnya.

Dhani menatap dirinya di cermin sekitar. "Eh buset, kerutan wajah gue berkurang," komentarnya sambil mengusap dagu.

Jam saku Obi kembali ke warna semula, yaitu emas. Kondisinya bahkan jauh lebih rapi dan bersih. Pemutar waktunya sudah berjalan dengan normal. Obi memasukkannya lagi dibalik kemejanya.

"Bi, lihat deh, ya ampun gue menua dengan anggun," Dhani mengoyak dan mencubit pipinya.

Obi merapalkan kata sabar sebanyak mungkin. Lebih baik Ia tidak menanggapi karena sudah waktunya untuk keluar dari ruang transisi. Obi tidak sabar untuk menghabiskan waktu bersama keluarganya dengan normal. Jemarinya masih berusaha menggapai tekstur riak air pintu gerbang, namun tidak ditemukannya sama sekali.

"Selamat ... kalian telah berhasil menyelesaikan permainan ini dengan baik."

Obi dan Dhani saling memandang dalam diam. Mereka menerka siapa gerangan suara lembut nan manis tersebut? Karena tidak mungkin ada seorang lagi yang masuk ke sini.

"Ah, kemunculan saya sepertinya terlalu mengejutkan kalian," suara itu kembali muncul.

Cahaya putih menyilaukan mata mereka. Namun, dibalik itu semua, suara perempuan itu menampilkan wujudnya. Dhani tidak berkedip sama sekali ketika menelisik penampilan perempuan itu dari ujung rambut hingga mata kaki. Sedangkan Obi juga terpana tapi lebih menundukkan kepala sebagai tanda hormat.

Sentralisasi | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang