Ep 19 • Nggak Perlu Main di Rumput Tetangga

4 0 0
                                    

"Ciee... Yuna emang pinter deh. Rumus seribet ini cepet banget kelarnya." Ananda bertepuk tangan kagum melihat jawaban Yuna di papan tulis.

Didan si ketua kelas lagi-lagi mengeluarkan ide gilanya demi bisa lulus bareng-bareng. Kali ini berupa cerdas cermat random. Satu orang nulis satu soal matematika di papan tulis buat dikerjain rame-rame sebagai pengganti guru yang nggak masuk. Dengan keberadaan anak-anak jenius di kelas itu, tentu saja pada akhirnya jadi mereka-mereka juga yang menyelesaikan soal-soal tersebut.

"Jangan khawatir kalo ada Yuna, semua pasti beres." Didan berdiri di samping Yuna dengan jumawa. Manggut-manggut bangga atas kecerdasan sahabatnya.

Yuna menyodorkan spidol bekas menulis jawaban pada Ardi yang berdiri di samping Didan, kemudian berlalu kembali ke bangkunya.

Didan termangu melihat adegan tersebut. Ia menghampiri Rega yang duduk di atas meja paling depan bersama Dame dan Nino. "Lo bener, Re. Kayaknya dia marah sama gue."

"Dia siapa?" bisik Dame.

Didan meringis cemas. "Yuna. Kayaknya dia ngambek. Gue dicuekin banget hari ini. Dari pagi sampe sekarang belum sekalipun dia ngobrol sambil natap mata gue. Pas tadi balikin contoh soal yang dia pinjem, pas gue ajak dia cerdas cermat, pas gue ajak jajan ke kantin, pas gue minta pulsa, nggak sekalipun dia natap mata gue."

Nino mencibir. "Makin parah. Korbannya di mana-mana. Dasar egois!"

"Emang awalnya gimana?" tanya Dame penasaran.

"Itu... kata Rega sih abis hukuman setrap kemarin," jawab Didan menatap Rega untuk meminta informasi lebih lanjut.

"Waktu kita diomelin guru aja dia udah cemberut," timpal Rega.

"Gue nggak nyangka dia bakal ngambek gitu," gumam Didan.

"Menurut gue wajar kok Yuna ngambek. Orang gue aja kesel banget kemarin. Gue nggak tau apa-apa, nggak ikut nyorat-nyoret, tapi kebagian dihukum," kata Dame.

Nino mencondongkan tubuhnya untuk berbisik pada Dame. "Tapi lo oke kan sekarang? Nggak pengen gampar mukanya Didan kan?"

Dame terkekeh. "Mau banget. Yuk gampar yuk. Seru kayaknya."

Rega menyeringai. "Gue ikut."

"Gue juga deh. Mau kapan?" timpal Nino.

Didan mundur selangkah. "Hoi hoi. Serius lo!"

Ketiga anak itu tertawa melihat Didan yang keliatan takut akan benar-benar digampar.

"Didan," Dame menjulurkan tangannya, "jabat tanganku, Didan."

"Hah?" Didan mengernyit. "Nga-ngapain?"

Dame berdeham, lalu mulai bernyanyi. "Mungkin untuk yang terakhir kali... Kita berbincang tentang memori di masa itu..."

Didan menatap Dame lega. "Kirain lo minta jabat biar gampang nabokin gue. Nggak taunya malah nyanyi." Ia menggertakan giginya gemas.

Dame melanjutkan nyanyiannya sambil nyengir. "Peluk tubuhku... Usapkan juga air mataku..." Ia menyandarkan kepala ke bahu Rega. "Kita terharu... Seakan tidak bertemu lagi..."

Rega dan Nino melanjutkan nyanyian Dame dengan ekspresi sok serius dan terharu di saat yang sama. "Bersenang-senanglah... Kar'na hari ini yang 'kan kita rindukan... Di hari nanti... Sebuah kisah klasik untuk masa depan..."

"Oh my God! Ngapain sih mereka nyanyi lagu itu?" pekik Ananda.

"Pasti Dame yang mulai. Dia kan paling hobi ngajak satu kelas nyanyi bareng," tukas Yuna.

The Chronicles of Senior Year [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang