CHAPTER 6: Next(2)

281 38 0
                                    

Kenapa kau datang kerumahnya?”

“Tidak ada. Aku hanya ingin menanyakan kabarnya” balasnya dengan senyum.

“Dia baik-baik saja”

Eunkwang mengangguk,“Eum... Aku senang melihatnya baik-baik saja. Terimakasih sudah mengantarnya pulang”

”Eunkwang-a!”

Suara yang terdengar dingin dan kaku, namun pria bertopi hitam itu berhasil menghentikan kakinya. Ia membelakangi Minhyuk dengan aura dinginnya yang menyeruak di sekeliling.

“Berhenti menemuinya kalau kau tidak bisa melindunginya!” ketus Minhyuk.

“Apa maksudmu?” Eunkwang membalikkan badan dan menghampiri temannya itu.

“Dia memerlukan seseorang yang bisa menjaga dan melindungi, bukan pria pecundang yang menyeretnya dalam masalah dan berakhir menyakitinya”

Tatapan mata Minhyuk seolah mengejeknya termasuk setiap kata tanpa ekspresi itu. Hal itu membuat hatinya bergetar, bagaimana temannya bisa mengatakan hal tersebut? Atau mungkin memang hatinya yang terlalu lemah begitu juga dengan kekuatannya.

”Berhubungan dengan seorang idol itu beresiko sangat tinggi. Hanya ada dua pilihan yaitu merelakan atau menggenggam erat dengan berani. Membuatnya tersenyum bukan berarti membahagiakannya....”

“...Jadi, menjauhlah darinya kalau kau tidak sanggup berdiri didepannya dengan tegak layaknya seorang pria sejati atau sekedar melindunginya dari bahaya” lanjutnya lalu pergi begitu saja.

Eunkwang tertunduk, Ia merogoh saku jaket dan memperlihatkan sebuah kain merah berbentuk persegi. Disudut kain ada tiga buah ukiran huruf inisial yang membuat senyumnya terukir. Namun, air mata turut mengiringi senyum hingga jatuh menetes diatas kain sapu tangan itu.

“Kalau aku pecundang, apa aku tidak bisa memilikinya? Bukan seperti itu, aku akan menemukan jalan lain yang baik untuk dapat meraihnya. Aku pasti bisa melindunginya dengan caraku sendiri” monolognya.

Sepanjang jalan pulang, Minhyuk tampak memikirkan temannya yang tertinggal itu. Langkahnya terhenti dipertengahan jalan dan berniat untuk menghampiri Eunkwang. Namun, kakinya terasa kaku karena perbedaan pendapat antara hati dengan pikiran.

Sejenak ia menengok kebelakang dimana Eunkwang masih berdiri ditempat yang sama dengan menunduk,’kau melakukan hal benar Minhyuk-a. Dia tidak bisa melindungi Sena karena sifat penakutnya, hanya kau yang bisa melindunginya’ pikiran egois yang muncul dan membuatnya memutuskan untuk melanjutkan langkahnya yang tertunda.

(***)

Suara berisik mesin jahit menyeruak keseluruh ruangan persegi yang dipenuhi oleh kain dan beberapa pakaian digantung. Disana juga terdapat beberapa patung manekin pria yang terpajang disalah satu sisinya.

Rupanya ada seorang gadis yang sedang sibuk memainkan mesin berisik itu, ia tampak fokus pada jarum jahit yang bergerak naik turun dengan teratur. Tangannya memindah kain yang terhubung dengan benang jahit dari satu sisi menuju sisi lainnya yang belum terjahit.

Tidak berselang waktu yang lama, gadis itu menghentikan mesin jahit melenyapkan suara berisik yang sangat disukainya. Senyum terukir saat menatap kemeja hitam yang baru selesai itu, Ia membersihkan sisa benang yang menempel pada baju menggunakan telapak tangan.

Gadis berhijab itu berdiri lalu berjalan menuju sebuah patung manekin putih yang terletak tidak jauh darinya. Ia memakaikan kemeja hitamnya pada patung tersebut dengan perlahan setelah itu diraihnya tas selempang diatas meja panjang tempatnya memotong kain bahan.

Ia meninggalkan ruang kerja tepat pukul empat sore,  kakinya menyusuri setiap lorong lantai dua itu hingga ia keluar dari gedung. Dia berlalu dari gedung agensi berlabel AroundUs Entertainment itu dengan senyum yang terpancar diwajah lelahnya.

Sementara itu digedung agensi Cube Entertainment tepatnyya diruang studio ada Eunkwang yang sibuk dengan komputer dan piano. Dilehernya terkalung sebuah headphone yang terhubung dengan computer.

Bibirnya bersenandung ringan saat ia memutar kursi dan memainkan digital piano keyboard, lalu menulis setiap not angka diatas kertas musik. Rupanya pria itu sedang sibuk membuat sebuah lagu.

Sejenak kegiatannya terhenti saat ponselnya berdering, dilihatnya sederet nama penelpon yang tidak asing baginya. Senyum pria itu tercetak dan segera mendekatkan ponselnya ditelinga.

“Doojon hyung. Ada apa?”

“Kau tidak salah merekomendasikan dia. Kami sangat menyukai kerjanya”

“Sungguh? Aku harap bisa melihatnya memainkan mesin jahit itu seperti aku bermain piano hehe...” balasnya seraya menyandarkan punggung pada kursi.

Percakapan telepon itu terus berlangsung dan menjadi penghibur Eunkwang disela-sela pekerjaannya. Raut suntuk berubah ceria mendengar semua penuturan Doojon sampai akhirnya telepon berakhir.

Ia meletakkan ponselnya, mencoba fokus kembali pada digital piano dan memainkan nada yang baru selesai dibuatnya itu dengan penuh penghayatan serta meneliti setiap nada dan memperbaiki yang tidak selaras menurut pemikirannya.

(***)

Perlahan dan pasti langit yang memutih bersemu biru berubah menjadi hitam dan juga gelap. Mentari tak lagi menampakkan wajahnya di sisi langit kota namun penggantinya bernama bulan telah bertengger dilangit malam bersama kawanan bintang.

Malam masih belum larut dan baru menunjukkan pukul delapan malam namun suasana di taman Hangang sudah sepi padahal ini musim panas. Sena berjalan menyusuri tepian sungai mengikuti arus. Ia terhenti saat mendapati pantulan cahaya bulan diatas air yang sedikit bergelombang. Bulan yang masih belum sempurna itu memancarkan sinar yang cukup untuk menghias langit gelap itu.

“Kau menunggu lama?”

Gadis itu menengok kekanan dan mendapati seorang pria berjaket kulit hitam dan mengenakan topi hitam berdiri disampingnya. Pria itu tersenyum kearahnya dan ia membalas singkat lalu kembali melihat pantulan bulan itu.

“Tidak juga...” singkatnya.

“Ada apa menyuruhku datang? Kalau hanya membayar cicilan tidak perlu bertemu disini, telfon saja seperti biasanya dan aku akan datang kerumahmu”

Sena tersenyum dan mengangguk, ia membalikkan badan menghadap Junmyeon dengan wajah cemasnya. Namun, rasa cemas Junmyeon justru membuatnya bertanya-tanya. Apakah itu tulus dari hatinya?

Gadis itu memberikan sebuah amplop cokelat padanya,” aku hanya ingin melunasi sisa hutangku padamu. Terimakasih sudah mengijinkanku untuk mencicil selama ini”

Kedua alis Junmyeon bertaut, ia menutup kembali amplop yang telah dicek itu dan mengangkatnya tepat dihadapan wajah Sena,

“Darimana kau mendapatkan uang sebanyak ini?”

“Aku mendapat pekerjaan yang bagus dan gaji yang bagus, jadi aku ingin membayar semuanya termasuk uang sewa rumah yang kau bayarkan untuk bulan ini. Aku lelah terlibat hutang...”

“Hutang? Hei! Aku tidak menganggapmu berhutang padaku, aku juga tidak memaksamu untuk membayar”

Sena menepis tangan Junmyeon yang hendak meraihnya, selangkah lebih mundur menjauhi pria itu. Dia tidak menyerah dan mengejar gadis itu untuk mengembalikan amplop tersebut. Namun, gadis itu tetap menepisnya membiarkan amplop coklat itu jatuh ketanah karena tidak ada yang mau menerima.

“Sena-ya, kau kenapa? Katakan padaku dan jangan membuatku marah” tegasnya.

Ucapan itu membuat Sena memberanikan diri menatap dengan tajam,”Marah? Bukankah harusnya aku yang marah padamu?”

Mwo?”

Geumanhae, jangan berpura-pura tidak tahu. Kau sungguh membuatku kecewa...”


To Be Continue...

THE TIME: When I Love You ☑Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang