Musuh dan Teman

51 6 7
                                    

Selamat pagi dunia.

Ucapku dalam hati. Pagi ini adalah hari pertamaku masuk sekolah setelah libur panjang. Kalau kemarin aku masih duduk di kelas lima tingkat sekolah dasar, kini aku akan duduk di kelas enam. Wah senangnya akhirnya sebentar lagi aku akan lulus.

"Sut, kamu sudah siap?" suara nenek tiba - tiba menyeruak di telingaku.

"Sudah, nek," jawabku sambil sedikit berteriak karena aku sedang berada di kamar, sedangkan nenekku berada di ruang tamu.

"Sini makan dulu!"

"Baiklah, nek."

***

Singkong goreng, singkong rebus, dan dua gelas teh manis hangat telah tersedia di depan mataku. Aku duduk di lantai yang masih beralaskan plesteran semen. Aku duduk di sebelah nenek dan mulai menyantap apa yang ada. Nenek sungguh hebat, meskipun hanya makan dengan  singkong tapi rasanya tak kalah dengan masakan yang makan oleh orang - orang berduit itu. Nenek memang pandai memasak, semua masakan yang nenek masak rasanya selalu enak. Tentulah karena katanya dahulu nenek pernah bekerja menjadi koki di sebuah rumah makan.

Nenekku sangat pandai memasak lalu aku? Haha jangan ditanya, masak nasi goreng pun masih aneh rasanya. Itu karena nenek tak pernah mau mengajariku memasak. Ketika aku meminta nenek untuk mengajariku, nenek pasti akan menjawab, "belum saatnya kau terjun di dunia ini, nak. Tugasmu sekarang hanyalah belajar, belajar, dan belajar. Buat nenek bangga dengan prestasimu ya. Untuk masalah masak - memasak itu sudah menjadi urusan nenek. Nanti jika waktunya sudah tepat, nenek juga akan mengajarimu."

Heum, nenek selalu beranggapan jika aku pandai memasak, aku pasti tidak akan fokus belajar. Waktu belajarku akan terpecah dengan masalah memasak di dapur. Padahal tidak juga, aku malah sangat ingin belajar memasak supaya aku bisa membantu nenek.

"Maaf ya Sut, hari ini kita hanya makan olahan singkong saja, nenek lupa kalau beras kita sudah habis. Sepulang berdagang nanti nenek akan membelinya."

"Biar aku saja nek yang beli."

"Sungguh? Warungnya kan tidak searah dengan arah sekolahmu."

"Aku akan beli sepulang sekolah nanti, nek."

"Baiklah kalau kau mau. Ini uangnya. Tolong belikan satu kilogram ya," ucap nenek sambil mengulurkan selembar uang seribuan dan satu uang logam bertuliskan 100 rupiah. Aku pun menerimanya dan tersenyum.

Selesai makan, aku bergegas menuju sekolah dengan berjalan kaki. Sebenarnya aku memiliki sebuah sepeda tua. Sepeda peninggalan kakekku. Tapi saking tua nya sepeda itu sering mengalami kerusakan. Rantainya pun sudah sering copot. Jadi kupikir lebih baik aku berjalan kaki saja ke sekolah. Lagi pula jaraknya tidak terlalu jauh dan yang membuatku senang berjalan kaki ke sekolah adalah aku bisa menikmati suasana pagi yang asri di sepanjang perjalanan. Seperti sekarang ini.

Disinilah aku, di sebuah jalan lurus yang dipagari oleh pepohonan di sisi kanan dan kirinya. Kicauan burung mengiringi langkahku. Membuatku semakin bersemangat mengejar harapan masa depan. Jalanan ini cukup lengang. Hanya ada beberapa orang yang berlalu lalang karena kondisi jalan yang sedikit licin dan becek yang habis diguyur hujan semalaman. Biasanya orang - orang akan memilih melewati jalan lain sampai kondisi jalan ini membaik.

Aku menatap kakiku yang saling bertautan. Sesekali membenarkan rambutku yang berantakan diterpa angin.

Sutia

Beberapa orang menyapaku. Kepalaku sesekali terangguk dan tersenyum pada mereka untuk membalasnya. Aku berjalan dengan santai, masih menikmati indahnya penampakan alam disekitarku. Jalannya bersih meskipun sedikit becek. Berpagarkan pepohonan yang berbaris rapi dan saling melambai - lambai diterpa angin. Berpayungkan langit biru dengan serpihan awan putih selembut kapas. Aku beruntung masih bisa menghirup udara sesegar ini di daerah Ibukota.

Kayuhan PedalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang