DCKD 11

7.1K 348 5
                                    

Sungguh, rasanya sulit dijelaskan.
Harus dimulai dari mana uneg-uneg yang mengganjal? Dari awal keputusannya mengantar Fida pergi ke madrasah dan melewati Pesantren atau dari kejadian semalam yang masih ia ragukan antara mimpi dan kenyataan? Atau mungkin dari peristiwa ditemukannya koin 500 yang berujung pada ndalem Kyai?

Fifah menggaruk kepalanya hingga tercipta guratan kusut pada jilbabnya.

Meski banyak yang mengatakan bahwa anak perempuan lebih dekat dengan Ayahnya dan anak laki-laki kebalikannya, bagi Fifah tidak lain hal itu adalah sama saja. Malah yang ada adik terakhir Fifah, laki-laki, lebih manja dari Fida. Ya, ke siapa lagi kalau bukan ke Ayah?

Ketika kebanyakan anak perempuan curhat kepada Ibunya, sejak kecil, Fifah terbiasa curhat dengan Ayahnya. Lantas mau bagaimana lagi? Jelas ia tidak bersanding dengan seorang Ibu. Ayah? Beruntung Allah ciptakan seorang laki-laki yang merangkap tugas seperti seorang Ibu. Meski banyak juga orang bilang kalau wanita jelas bisa menjadi seperti laki-laki. Tapi laki-laki? Tidak bisa seperti wanita. Fifah halau jauh-jauh tanggapan itu! Buktinya? Ayah Fifah bisa!

Kini, dengan cekatan, tangan-tangan itu mulai membagi porsi nasi goreng yang satu persatu ditempatkannya dalam piring.

Ditariknya napas dalam-dalam oleh Fifah. Membulatkan tekad untuk bertanya usai memantapkan diri dengan bismillah.

"Yah ...."

"Kenapa Fifah? Dari tadi Ayah-Ayah melulu?" tanyanya.

"Ng ... Anu Yah ..."

"Tolong bawa satu persatu ke meja depan, ya!" perintah Ayah seraya memberikan dua piring nasi kepada putrinya.

"Mmmm" Fifah anggukkan kepala, mulai membawa dua piring berisikan nasi yang ditaruhnya ke meja depan. Ia kembali lagi ke belakang. Terdengar gemericik air dan spatula yang beradu dengan wajan. Nampaknya Ayah sedang mencuci wajan bekas penggorengan barusan.

"Ayah ... Ng ... Kemarin kan aku lewat pondok pesantren, Yah ...." Fifah memulai ceritanya. Kedua tangannya kembali meraih dua dari tiga piring yang tergeletak kemudian ditaruhnya di meja depan. Lalu ia kembali lagi ke dapur. "Nggak sengaja tuh, Yah ... Terjadi tragedi ...."

Gemericik air kombinasi suara spatula dan wajan yang masih terdengar menyamarkan ucapan Fifah meski Ayahnya mendengar bahwa putrinya tengah bicara.

"Dan gara-gara tragedi itu ...." Jari-jemari Fifah saling bertautan memilin-milin ujung jilbabnya. Rasanya malu untuk melanjutkan. T-tapi ... aah! Tak apalah! Toh ini bukan salah dia sepenuhnya?

Sementara sang Ayah telah selesai mencuci wajannya. Jadi tak lagi terdengar suara gemericik air yang berpadu dengan spatula dan wajan sehingga ucapan Fifah tersamarkan.

"Katanya Pak kyai dan salah satu santrinya mau meng ..." kening Fifah berkerut dan tatapannya menerawang ke udara. "Meng ... Khi ..."

Sang Ayah menatap putrinya heran, bercampur ingin tersenyum. "Mengkhitbah?"

Raut wajah Fifah berubah ceria. "Nah! Itu dia, Yah! Meng-khit-bah! Ya, ya, ya! Mengkhitbah, Yah ...."

Ayah kembali tersenyum. "Bukannya semalam mereka telah datang?"

Fifah terbelalak. Ia alihkan pandangan saksama pada Ayah, seolah-olah memastikan bahwa dirinya tidak salah dengar. "Datang?"

"Iya, semalam kan mereka datang untuk mengkhitbah kamu ...."

Kedua bola mata Fifah kembali menerawang di udara. Otaknya bekerja dua kali lebih keras. "Mengkhitbah?"

"Iya, Nak. Semalam Pak kyai dan calon suamimu datang melamar kamu. Itu yang dinamakan mengkhitbah."

Seketika kaki tangan Fifah lemas. Dadanya berkecamuk tak karuan. Sementara dirinya baru sadar bahwa ia telah dilamar!

Kini, benaknya dipenuhi ribuan kalimat tanya. Ya, antara Benarkah, benarkah, dan benarkah? Harapan Fifah ini adalah mimpi.
Namun, sayangnya itu benar. Dan kejadian semalam yang ia duga telah masuk waktu subuh ternyata ... kenyataan!

Oh My God ...

Bukannya bahagia seperti wanita pada umumnya, Fifah malah lesu. Tidak bergairah dan sepiring nasi goreng yang kini tergeletak di hadapannya telah menghapus rasa laparnya meski ia belum menyantapnya.

"Sarapan dulu, Fah. Nanti kamu kesiangan," ucap Ayah.

Tangan-tangan itu terlihat tidak pernah berhenti istirahat. Dan kini, Ayah tengah membersihkan meja dapur menggunakan lap.

"Tapi Fifah kan masih sekolah, Ayah? Bagaimana kalau guru-guru tau? Nanti Fifah dikeluarin dari sekolah gimana? Kan sayang, Yah ... Sebentar lagi Fifah lulus."

"Kamu diam saja, jangan bilang ke siapa-siapa. Cukup Allah, keluarga kita, dan keluarga dari pihak calon suamimu yang tau."

"T-tapi Ayah ... Fifah mau melanjutkan kuliah."

Ayah menghela napas. "Nak, calon suamimu itu agamanya baik. Berdosalah kita jika menolak lamarannya!"

Ayah kembali menggosok-gosok permukaan meja menggunakan lap. Sementara Fifah, raut wajahnya tidak lagi seceria pagi tadi ketika melihat Rio mengenakan sarung dan peci.

"Enak banget jadi orang pandai agama ya, Yah? Begitu mengkhitbah perempuan, pasti nggak ditolak."

"Nggak semuanya begitu."

Fifah masih lemas. Rasanya ia benar-benar malas menjalani hari ini, esok, hingga tiba saatnya waktu pernikahan. Kalau boleh, kenapa waktu tidak diulang? Fifah ingin menghapus bagian dari kisah hidupnya ketika ia melewati pesantren sehingga berujung lamaran yang finalnya adalah pernikahan.

"Terus kapan nikahnya, Yah?"

"Masih lama, nunggu kamu lulus, Sayang ...."

"Berarti, lulus nanti selain mendapat ijazah Fifah juga dapat ijab sah dong, Yah?"

Ayah terkekeh mendengar pertanyaan putrinya. "Sudah, sarapan dulu sana! Nanti kesiangan berangkat sekolahnya!"

Dengan enggan, Fifah melangkah ke ruang depan sambil membawa sepiring nasi goreng yang tadi tertinggal di meja belakang. Benar-benar tak berselera. Kaki tangannya pun masih terasa lemas.

***

29 Desember 2018
💜

Dengan Cinta-Nya Kucintai DirimuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang