DCKD 12

7.1K 340 3
                                    

Bisingnya sebuah motor menembus dinginnya pagi nan sunyi. Zihro dan Irfan mengendarai vespa ketika hendak ke pasar. Vespa itu adalah milik Pak kyai yang kini sudah tidak pernah digunakan lagi karena perannya tergantikan oleh mobil.

"Supaya bisa merasakan kebersamaan. Kalau naik vespa? Romo hanya bisa menikmatinya berdua dengan Ummi. Tidak dengan anak-anak Ummi," jelas Pak kyai ketika ditanya alasan tidak lagi naik vespa untuk pergi kemana-mana. Alhasil, vespa itu dipasrahkan dan boleh digunakan para santrinya yang hendak berkepentingan cukup jauh demi kepentingan pesantren.

Toh, kalau Farhan, kawan mereka yang berciri khas selalu mengenakan kaca mata bulat tebal itu hendak mempromosikan kalender juga biasanya mengendarai vespa. Sayangnya, vespa tidak kuat untuk melaju dijalanan menanjak di pegunungan. Maka dari itu mereka lebih sering menggunakannya jika hendak ke kota, pasar atau tempat-tempat lain yang sekiranya tidak melewati tanjakan curam.

Zihro sebagai pengemudi memicingkan matanya ketika menangkap sosok berseragam putih abu-abu tengah berdiri di pertigaan jalan. Tangan kirinya bergantingan naik turun depan dada supaya ia bisa melihat dengan jelas angka-angka di jarum jam yang melingkar itu. Wajahnya mulai gusar. Sesekali ia menoleh ke kanan dan ke kiri, tertangkaplah sebuah motor vespa yang dikendarai oleh dua santri. Fifah memutar bola matanya. Mereka lagi ... Mereka lagi! gumamnya demikian.

Fifah segera memalingkan pandang. Selain berguna menghindari diri dari maksiat, ia juga enggan melihat mereka. Apa lagi saat Fifah tau yang duduk di jok belakang adalah lelaki yang waktu itu menabraknya.

"Jadi, dia calon suamiku?" ujar Fifah dalam hati saat motor vespa itu telah melewati dirinya dan ia lihat sosok di belakang kemudi. Ya, sosok berbaju koko putih dengan tangan mengapit keranjang belanjaan.

Handphone Fifah bergetar membuatnya memalingkan pandang dari vespa. Terpampang nama Muel di sana. Cepat-cepat dia mengangkatnya. "Halo, Muel?"

"Halo, Fah? Kamu di mana? Kok belum datang ke sekolah, sih? Lima menit lagi masuk dan kelompok kita kebagian presentasi awal!"

Fifah menepuk jidat setelah ingat jadwal presentasi kelompok mereka. "Oh iya! El?"

"Iya Fah ... Bisa cepetan ke sekolah nggak?"

"Ng ... Duuh El? A-aku ketinggalan angkutan desa, nih! Gimana dong?"

Muel menghela napas. "Ya udah sekarang posisi kamu di mana?"

"Di depan balai desa Dukuh lopo."

"Oke, kamu di situ aja dan jangan kemana-mana! Aku segera ke sana."

"T-tapi El ..." Belum selesai Fifah menyelesaikan kalimatnya, keburu terdengar suara tut tut tut. Sambungan terputus. Fifah mengerucutkan bibirnya sambil menatap layar ponselnya.

Ia tercekat. Boncengan dengan Muel lagi??
Kaki tangan Fifah kembali lemas. Setelah semalam di antar Muel, pagi ini Muel harus menjemputnya?
Tangan kiri Fifah kembali terangkat. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 7 kurang sepuluh menit.

"Apa kiranya keburu?" pikir Fifah demikian. Lagi pula, boncengan berduaan kan ... dosa.

Tin!

Fifah terperanjat. Sebuah motor berhenti di dekatnya. Muel.

"Cepet amat?"

Muel tersenyum. "Kan aku udah bilang, pembalap ... hehehe."

"Pembalap si pembalap, kalo jatoh kan tetep aja sakit!" ujar Fifah yang dibalas cengiran oleh kawannya. "Udah gitu nggak pake helm, lagi!"

Muel menahan napas. Kemudian ia menatap dirinya di depan spion sambil merapikan rambutnya yang masih basah. "Kalo pake helm ntar rusak rambutnya ..."

Dengan Cinta-Nya Kucintai DirimuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang