Curhat Untuk Sahabat

98 19 8
                                    

   Gemerlapnya gugusan bintang yang menyebar pesona indah menghiasi malam menjadikan tabir dalam kehidupan terlihat mengatup-ngatup. Sebuah pesan tersirat untuk angkasa mampu dibaca oleh lautan. Setiap baris kata, induk kalimat, bahkan per kata mengandung makna yang ganda. Ambiguitas.

   Sama seperti tingkahmu yang selalu bermakna pada banyak masalah. Titik fokusmu bukan satu, tapi melebihi dari itu. Warna auramu tidak lagi monoton, melainkan warna-warna lain silih berganti. Air wajahmu tak lagi manis, tidak lagi memberikan kesan bahwa kau baik-baik saja. Kau terlalu sempurna untuk menyembunyikan semua ini.

  Di antara kumpulan meja berbentuk oval. Di antara hiruk-pikuknya manusia bercengkrama dengan sesama, membahas waktu bergulir, terkadang mengulang masa lalu melalui jalinan obrolan, mengulas dan menebak masa depan dan terkadang juga menjadi peramal dadakan. Di antara itu semua, kau hadir dengan tampilan berbeda. Sederhana namun terkesan mewah. Air matamu tidak lagi bisa berbohong. Sudah ingin keluar, namun tetap bedegap kau menahannya. Semilir nafasmu terus melasak menjerujikan perhatianku. Kau sedang kuterjemahkan sebelum pada akhirnya akan kutanya, kenapa? Ada apa? Ceritalah.

Tubuhmu semakin memberontak meminta berpindah tempat. Kau berjalan gontai dengan selempangan tas di sebelah lengan kanan. Kembali lagi menemukan tempat hening, sunyi, senyap, menyejukkan. Setting cahaya di ruangan itu kau mencintainya. Gradasi hitam-coklat membuat matamu kembali teduh. Namun tak lama, bahumu terangkat-angkat, kau sesegukan.

Wajahmu bermandikan lampu temaram di kelamnya malam. Sendu dan syahdu yang terjadi di sekujur tubuhmu. Menggoda perasaan untuk tidak sabar melempar pertanyaan. Masih kuperhatikan gestur tubuhmu, apakah memberikan lampu hijau atau masih tetap memerah. Bukan sesekali atau dua kali kau tunjukkan sikap manismu ini, manis dalam tanda kutip. Sebab sikapmu seperti ini membuatku bimbang tak tau bermuara ke mana. Kau seperti bintang yang redup dari kejauhan. Tidak bisa kugapai dengan tangan dan mata telanjang.

Hidupmu begitu banyak dilema. Bukan hanya dirimu saja yang menciptakan paradoks untuk diri sendiri. Melainkan orang lain pun tertular oleh konsep itu. Segala tingkahmu adalah terjemah bahasa pikiranmu. Tingkahmu adalah jalan pikiranmu. Terkadang paham, terkadang menjadi gagal paham.

Begitu banyak topangan masalah yang bergelayut di bahumu. Kau semakin tenggelam, dan aku tidak bisa tenang. Air matamu makin mencair. Tubuhmu sudah tidak bisa dikendalikan. Kudekati kamu, kulebarkan tangan, kubawa kamu menuju pelukan hangatku.

Dan sekarang aku mengetahuinya, tidak perlu kau berucap, sebab dari hati sudah terungkap. Dari hangatnya air matamu, dari responmu ketika menyentuh hangat dadaku. Aku tahu itu semua. Dan kini, aku terbang terlalu jauh, berenang terlalu dalam melintasi tabir rahasiamu yang paling kelam. Yang selama ini kau tutup-tutupi. Yang selama ini menjadi alasan utama kau menangis terus-menerus. Tenggorokanmu yang tercekat membuat aksara terikat di pohon bronkiolus, menolak untuk keluar dari rongga mulut. Alhasil otaklah yang mengimpuls agar air mata yang keluar, pertanda sebagai bahasa yang menggantikan aksara.

Malam semakin larut, satu-dua kepala manusia mulai meninggalkan kafe bernuansa gelap. Mulai masuk pengunjung lain yang berasal dari beda dunia. Angin semakin menusuk. Dinginnya semakin menggila. Tapi tidak juga membekukan air matamu yang terus keluar. Wajahmu masih bersembunyi di balik tirai kegengsian. Hatimu masih sulit terbaca sebab kabut gelap setia menggelayut di sana. Pikiranmu sulit kurasakan karena banyaknya sarang kenangan. Sekarang ini adalah kondisi di mana kamu sulit menjadi diri sendiri, bentrok dengan masa lalu yang paling kelam dan kejam, berontak dan berperang dengan hati dan pikiran yang keduanya menjadi kutub bertolak-belakang. Yang kulakukan hanyalah mendekapmu dengan tajam.

Jangan lupa untuk vote agar cerita terus berlanjut. Mohon bantuannya ya ^^.

MOZAICTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang