Tepat pada musim dingin tahun ini, Togata Mirio meninggal.
Ya, pemuda yang baru saja mendapatkan gelar 'Hero resmi' itu ditabrak sampai mati tepat di depan kantor agensi kepahlawanannya. Miris.
Tapi, bukahkah seharusnya dengan quirk spesial seperti itu dia bisa menghindari kecelakaan atau hanya mengalami luka ringan?
Tidak. Anggapan tersebut tidak betul kaprahnya. Mirio benar-benar tidak bisa mengelak atau mengaktifkan quirknya pada saat itu. Ia saja baru sadar sepersekian detik setelah mobil milik seorang pemabuk itu menghempaskan dan melindas anggota tubuh bagian bawahnya.
Kejadian itu memang terjadi sangat cepat. Dan tahu-tahu saja Mirio sudah dinyatakan meninggal ketika ditemukan oleh team medis.
Setelah kepala sekolah serta para staff Yuuei Akademi menurunkan ucapan berduka cita, seluruh jagad sekolah tingkat menengah tersebut menjadi gempar. Hiruh pikuk karena bibir disana dan disini hanya membahas tentang kematian murid paling berbakat dari kelas 3-A yang sedemikian mendadak dan memilukannya.
Topik Togata Mirio tak hanya menjadi buah bibir di lingkungan Yuuei. Melainkan sudah menjamur di kalangan masyarakat dan sekolah lain. Baik yang memiliki jurusan Hero ataupun biasa. Yah, memang, akhir-akhir ini nama Lemillion agak meroket dikarenakan aksi penuh pengorbanannya ketika melakukan penyelamatan di distrik Shinjuku beberapa minggu lalu.
Seorang bibit pahlawan yang mati muda dengan sia-sia. Siapa tidak peduli atau badangkali berani tak mengacuhkannya?
Duka lara tersebut lantas menjadi parasit di hati kedua sahabat seperjuangan Mirio, yaitu Hadou Nejire dan Amajiki Tamaki. Bagaimana tidak? Mereka bertiga saja selalu menghabiskan waktu bersama. Entah itu berbagi cerita, ujian lisensi, sampai meraih titik puncak sebagai superstar tersohor sesantreo sekolah.
Namun yang merasakan pukulan paling kuat adalah Tamaki yang hubungannya sudah mendarah daging dengan Mirio. Sejak kecil, mereka tidak bisa dipisahkan karena sudah terikat kuat dengan jalinan persahabatan abadi. Membuat mereka kerap saling bertukar perasaan kasih.
Jadi, wajar saja 'kan kalau rasanya seperti remuk redam sampai ke jiwa? Kehilangan orang yang benar-benar berharga bukanlah perihal sepele dan tidak bisa direlakan begitu saja!
Ya, Tamaki tidak akan pernah mengikhlaskan kepergian Mirio. Tidak akan. Apalagi oknum brengsek itu belum ditemukan dan mempertanggung jawabkan perbuatannya.
Setidaknya, Mirio harus mendapatkan keadilan pertamanya!
Tidak hanya Tamaki yang memberontak. Mirio yang sudah menjadi roh pun menolak ajakan Tuhan untuk pergi ke alamnya. Ia tidak bisa main meninggalkan Tamaki begitu saja tanpa salam perpisahan. Setidaknya Tamaki harus tau kalau ia tidak pernah bersikap kurang ajar.
Karena kegigihan dan ketulusan hatinya, Tuhan mengijinkan Mirio untuk menetap di dunia dalam jangka waktu 5 hari saja. Lepas 5 hari, Mirio harus mau ikut malaikat pergi ke atas sana.
Mirio menyanggupinya. Dengan tubuh barunya, ia melesat dan menembus segala hal. Hal ini tentu tidak membuatnya kaget karena quirk yang di milikinya bermekanisme serupa.
Di hari pertamanya tersebut, ia hanya berbolak-balik di dalam kamar Tamaki. Memikirkan bagaimana cara agar sahabatnya itu bisa mengetahui keberadaannya, tapi tidak merasa ketakutan. Karena sejak dulu, Tamaki sangat mempercayai yang namanya hantu dan selalu mengompol ketika menjumpai peristiwa Poltergeist.
Padahal mentok-mentoknya ia hanya bisa menggeser atau memegang benda saja. Entah kenapa dirinya tidak bisa memegang Tamaki. Yah, tidak ingin mencoba juga sih. Bagaimana kalau nanti dia malah berteriak histeris tanpa henti ketika Mirio berhasil mencolek ketiaknya?
"Pranggg!!"
Antara karena iseng dan tidak sengaja, Mirio menjatuhkan salah satu koleksi gurita keramik milik Tamaki. Membuat yang punya kamar langsung menjerit dan berlari keluar.
Baiklah. Menyapa Tamaki dengan cara Poltergeist bukanlah hal bagus. Tapi bagaimana caranya agar Tamaki bisa mengerti kalau Mirio ada disitu dan hendak menyampaikan salam terakhir? Bicara secara langsung? Tentu tidak bisa! Frekuensi suara roh dengan manusia biasa sangatlah berbeda.
Ini bukan perkara mudah.
Hari pertama selesai begitu saja karena Mirio lebih memilih untuk diam-berpikir dalam-dalam. Beranjaklah hari ke-2, dimana Mirio memutuskan untuk mencoba sesuatu. Walau mungkin, Tamaki akan ketakutan setengah mati lagi. Namun tidak ada salahnya untuk mencoba.
Ia membuat bentuk lingkaran pada foto wajahnya menggunakan spidol lalu menuliskan 'Hey, aku disini' di meja tempat foto tersebut ditaruh. Untung saja foto tersebut memiliki bingkai dan spidol yang tadi tergeletak sebatang kara itu bertipe Boardmarker.
Rencana nya tersebut antara berhasil dan gagal. Berhasil karena Tamaki melihatnya. Kemudian gagal karena Tamaki justru makin ketakutan dan tidak mau tidur di kamarnya selama 2 hari.
Ia baru kembali di hari ke-4. Dimana waktu Mirio hanya tersisa 1 hari lagi.
Mirio yang pantang menyerah terus membuat tulisan-tulisan menggunakan spidol ketika Tamaki pergi. Seperti, 'Tolong jangan takut', 'Tamaki ini aku. Mirio', 'Aku hanya ingin kita bicara sedikit saja', 'Tolong mengertilah' dan lain-lain sampai meja dari kayu mahoni tersebut di penuhi coretan.
Awalnya, kepala Tamaki dipenuhi ketakutan. Ia berniat untuk kabur kembali. Namun ketika netra nya tidak sengaja melihat kata 'Mirio', dirinya secara ajaib langsung tenang.
"Mirio... Benarkah itu? Kau disini...?" Bisiknya ragu.
Spidol yang selama ini menjadi saksi bisu usaha Mirio tersebut bergerak. Kemudian menuliskan kalimat balasan, 'Iya. Ini aku, Tamaki. Mirio!'.
Perasaan Tamaki mendadak bercampur aduk. Takut, cemas, takjub, senang. Namun ia berusaha mengenyahkan perasaan takut dan cemasnya. Karena ia percaya, kalau makhluk halus yang sedang bersamanya ini benar-benar Mirio.
Mirio sendiri nyaris menangis ketika Tamaki sudah mulai mau meresponnya. Rasanya ia hendak memakan butiran salju diluar sana saking girangnya.
Mereka pun bercakap. Meski tidak langsung suara dengan suara, namun Tamaki terlihat cukup menikmatinya. Karena dengan begini orang tuanya tidak akan mengira kalau ia sudah gila akibat ditinggal mati Mirio. Walau sebenarnya, hal tersebut hampir benar adanya.
Obrolan mereka nyaris tak terputuskan. Bahkan hingga fajar di hari ke-5 tiba, mereka tetap mengobrol. Tamaki rela berjuang mengindahkan kantuknya demi melepas kerinduannya yang amat membara.
Namun Mirio memilih untuk menyudahi obrolan mereka. Pertama, ia mengkhawatirkan kesehatan Tamaki kedepannya karena begadang terlalu ekstrem. Kedua, ia sudah merasa lebih lega.
'Tamaki. Aku harus pergi.' Tulis Mirio.
"Ke-Kenapa? Kenapa harus begitu cepat?" Terlihat air muka tak rela di wajah Tamaki.
'Waktuku sudah habis. Selain itu kita sudah bicara lama sekali kan? Kamu harus istirahat.'
"Begitu ya..."
'Berbaringlah.'
Awalnya Tamaki menyernyitkan dahi. Tidak mengerti. Namun ia lebih memilih untuk menurut saja. Terlalu banyak komplain bukanlah keyakinannya.
Setelah Tamaki berbaring diatas kasur, Mirio meraih selimut tebal diatas lemari. Kemudian perlahan-lahan menjabarkan selimut tersebut hingga menutupi ujung kaki sampai leher Tamaki.
"... Oyasuminasai, Tamaki..."
Tuhan pun mengabulkan keinginan terakhir Mirio. Membuat Tamaki dapat mendengar sekaligus melihat wajah Mirio yang sedang tersenyum tulus kearahnya. Wajah dengan aura penuh kesejukkan. Ekspresi kesukaannya.
Dan tanggal 24 Desember 2018 merupakan malam Natal terakhir Mirio di dunia bersama Tamaki.
×××A/N : Jangan lupa untuk meninggalkan jejak!
KAMU SEDANG MEMBACA
おやすみなさい
FanfictionIni hanyalah sebuah kisah pendek tentang roh dan manusia. . . . Togata Mirio × Amajiki Tamaki Rate : T Genre : Friendship, Angst (?) Warning : Bahasa berbelit-belit, gajelas, TYPO, OOC dll Disclaimer © Kohei Horikoshi [ My Hero Academia fanfiction ]