Langit : 1

11 3 1
                                    

Petang merupakan jembatan yang menghubungkan antara siang dengan sore. Seketika, gemuruh mengembarai langit. Angin mulai mempercepat lajunya dan tetes demi tetes hujan menjejaki jalanan. Kurasakan angin meniup rambutku secara kasar. 

Petang hari itu, suasana hatiku tak baik. Sangat buruk.

Aku menatapnya secara tidak sadar. Orang itu tepat berada di sudut mataku. Namun, aku tidak bisa lepas dari pandangan ini. Tetap saja, suasana hatiku tetap tidak berubah, malah semakin memburuk. Yah sudah seharusnya aku tidak berharap lebih.

Otak ini memaksaku mengangkat kaki dari sana. Aku meninggalkan koridor itu dan kembali ke ruangan panitia. Acara hari ini berjalan baik, cukup menguras tenaga dan pikiran. Saat-saat itu aku mengerti apa yang dikatakan Mama, "Sabar itu menyulitkan tapi yang diperoleh lebih dari sebuah kesenangan." Pengalaman yang takkan terulang dan tali persaudaraan  yang semakin dipererat oleh acara ini. Rasanya ketika mengingat apa saja yang aku lakukan hari ini menghilangkan kekecewaan itu.

Setelah rapat evaluasi akhir acara, kami para panitia bergegas membersihkan lokasi, mengembalikan semuanya seperti semula. Semangatku kembali terisi penuh. Langsung saja aku menarik tangan Aya ke tenda yang terletak di tengah lapangan.

Tanpa pikir panjang, aku mulai melipat kursi yang membutuhkan banyak perjuangan untuk melipatnya. Akhirnya aku berhasil melakukannya, kuletakkan kursi itu pada barisan kursi yang sudah terhimpit rapi. Naas, sesaat aku meletakkannya sebarisan kursi itu jatuh menabrak barisan-barisan kursi yang lain.

Hampir saja jantungku berhenti berdetak. Aku panik setengah mati. Jelas saja, kakak angkatan atas sudah merapikannya sehingga terbentuk beberapa barisan kursi dan aku hanya meletakkan tanganku disatu kursi sudah membuatnya runtuh layaknya domino. Aya menahan tawa melihat kejadian menyedihkan itu. Semua kakak angkatan atas melihatku dengan ekspresi yang sulit dijelaskan.

Segera saja aku angkat satu-persatu. Tak lama, Kak Mail menghentikanku seraya berkata, "Yang perempuan nyapu aja ya." Aku melihatnya dengan pasti, Kak Mail merasa kesal. Sulit untuk menjawabnya dengan semangat, rasa malu, panik, dan bersalah tercampur aduk.

Aku mengambil sapu dan pengki, kusodorkan pengki kepada Aya. "Kuterima bantuanmu Ya!" ujarku. Gerimis mulai berubah menjadi badai yang lebat. Beberapa dari kami mulai bersantai setelah menyelesaikan tugasnya. Sedangkan aku menyapu sampah-sampah yang mulai berterbangan kesana-kemari sehingga diperlukan tenaga ekstra.

Kami membersihkan sampah dan langsung membuangnya ke tong sampah, berulang-ulang kali. Suara asing menyuruhku mengumpulkan sampahnya terlebih dahulu. Aku menoleh, suara itu berasal dari kakak angkatan atas yang jarang sekali kulihat bahkan aku tak tau namanya siapa. Aku menjawab dan menuruti sarannya.

Bukit kecil tumpukan sampah sudah terbentuk, jujur saja aku menikmati tugasku saat itu. Tak kusangka, renda tenda itu sudah menampung air hujan sejak awal dan tiba-tiba hantaman bak waterboom menerjang, pakaianku sedikit basah karena yang terhantam adalah bukit sampahku. 

Kesedihan yang tergores dihatiku tak membuat semangatku luntur. Aku melawan, aku yakin aku bisa melakukannya. Terdengar suara cekikikan dari telinga kiriku, kutengok, lagi-lagi Aya mentertawaiku. "Ayaaaa! Bantuin aku!" suruhku. Aya menghentikan tawanya dan menjawab, "Kamu aja lah, aku capek hehehe." Tatapan mataku seolah-olah mengisyaratkan kata-kata "Ok sip." Aku yakin, ekspresiku saat itu sangat datar.

Setiap renda tenda itu kembali menghantamku, aku selalu menghindar dan tanpa sengaja berteriak mengucapkan, "EYY waterboom!"

Tentu saja Aya terus tertawa tapi aku menghiraukannya demi kebersihan lapangan ini. Lagi-lagi suara asing itu tertangkap ditelingaku, aku kembali menoleh dan menjawabnya dengan ragu. Kakak angkatan atas mengatakan hal ini kepadaku, "Nanti lagi aja nyapunya." Saat aku menoleh, aku melihat raut wajah yang sama seperti di awal, raut wajahnya tampak kesal dan super tidak bersahabat.

Aku khawatir akan bukit sampahku, aku harus meninggalkannya beterbangan kemana-mana. Sulit untuk berpisah, tapi mau bagaimana lagi, aku sudah mempersetujui saran kedua dari kakak itu. 

Kini, kami mencari tempat duduk di bawah tenda tersebut. Ada sebuah sofa yang tidak diduduki siapapun. Aku mengajak Aya tapi ia menolaknya karena basah, aku yakin segenap hati kalau sofa itu tidaklah basah. Langsung saja kududuki dan air mulai meresap ke pakaianku. Aku sontak terkejut, udara yang dingin ditambah pakaian bagian belakangku kini sudah basah.

Aya menyarankan duduk di dua meja yang terkena air hujan, lumayan basah namun tak separah sofa. Awalnya aku ingin mengelapnya dengan taplak tetapi hati kecil ini seperti berkata tidak karena taplak-taplak itu baru saja keluar dari binatu. Seketika suara kursi yang dipindahkan membuat kami menengokan kepala secara bersamaan. Kakak itu membawa kursi kearah kami, lebih tepatnya kursi yang ia duduki sedari tadi. 

Entah mengapa imajinasiku sedari ia membawa kursi menjadi kenyataan.

Kursi pertama ia letakkan dibelakang kami lalu ia kembali mengambil kursi kedua dari pojok tenda yang sangat basah dan memindahkan sebuah baskom dari atas kursi tersebut. Kursi kedua diantarkan kepada kami. 

Aku benar-benar diam. Otak dan hatiku tak bisa menanggapi yang terjadi saat itu. Rasanya senang tapi aku menjadi salah tingkah karena kebaikannya. Kutarik tangan temanku seraya memberikan kode untuk berterima kasih. Kami mengucapkannya, tak ada tanggapan darinya.

Belum selesai. Ia mengambil taplak wangi itu dan mengelap kursi yang basah. Entah ekspresi apa yang kubuat. Kami berterima kasih lagi tetapi tetap saja tak ada tanggapan. Ada beberapa hal yang kusadari saat itu ; Pertama, ketika berbicara dengan kami, ia selalu menunduk. Kedua, ekspresinya seperti kesal tapi terasa kaku. Ketiga, setiap kata yang keluar dari mulutnya sangat singkat.

Aku dan Aya membalikkan kursi itu ke arah panggung agar menutupi salah tingkah yang kurasakan. Kami memunggunginya tapi mataku terasa tak bisa lepas darinya, lagi dan lagi aku terus menoleh ke arahnya. Saat itu, Aya memperhatikanku dan terus saja membuat ekspresi yang mengejekku.

Satu-persatu meja ia bawa. Meja pertama ia letakkan diatas tumpukan sampah yang telah kukumpulkan dan yang satunya ia bawa, dilap dan langsung ia duduki. Setelah beberapa menit, ia berjalan kembali dan menggeret sofa basah itu sehabis menyingkirkan bantalannya, langsung saja ia membaringkan tubuhnya.

Petang itu terasa sangat lama. Benar yang dikatakan orang-orang, bahwa waktu akan terasa berhenti ketika kita dilanda kebahagiaan.

Beberapa lama kemudian hujan reda, sudah waktunya untuk pulang.

Tanda yang menunjukkan perpisahan.

"Selamat tinggal kak, semoga kita bertemu lagi."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 13, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Silver LiningsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang