A Promise

4.1K 174 6
                                    

"Iya, Sakura sudah besar tak usah khawatir. Aku akan memberitahunya kalau dia akan berkunjung."

Langkah kaki Sakura terhenti tepat di lantai satu ketika sudah turun tangga. Tidak jauh dari tempatnya, sang ibu tengah berbicara dengan seseorang dari telpon rumah. Dengan ayahnya, mungkin? Rasanya tidak, mengingat waktu seperti sekarang bukanlah jam istirahat ayahnya, walau hari libur sekalipun. Jika memang benar, berarti ada hal yang penting.

"Sakura?"

Bagai sebuah seruan, Sakura langsung tersadar dari lamunannya. Gadis itu langsung melangkah ketika baru tersadar kalau Sasuke beberapa langkah mendahuluinya. Tak lagi memikirkan sang ibu, Sakura mengantarkan Sasuke sampai pekarangan rumah.

"Besok pagi tunggu di rumah saja. Aku akan menjemputmu."

Sasuke berdiri didepan Sakura, bersiap untuk pergi. Ia sudah menganti sendal rumahan itu dengan sepatu miliknya.

"Tapi rumahku lebih jauh dari rumahmu menuju ke halte," kata Sakura, sedangkan Sasuke hanya tersenyum mendengarnya.

"Besok aku bawa motor." Sebelum benar-benar menjauh melangkahkan kaki, Sasuke sempatkan untuk mengelus puncak kepala Sakura.

Gadis itu tersenyum manis. Tangannya melambai kearah punggung Sasuke . Terus tersenyum hingga punggung tegap itu sudah tak nampak lagi. Setetes airmata jatuh. Bukan airmata penderitaan, tetapi arti dari sebuah kebahagiaan.

Bagaimana jika seandainya hal yang baru saja terjadi adalah saat beberapa tahun yang akan datang. Ia berdiri diambang pintu, mengucapkan kalimat penyemangat untuk suaminya yang akan pergi bekerja. Bersama anaknya pasti.

Sakura mengusap airmatanya yang semakin banyak berjatuhan. Kepala merah mudanya menunduk, mentap perutnya yang berisi janin dari Sasuke. Ia beralih mengusap perutnya.

"Lihat, papamu tampan sekali bukan?" Gadis itu terkekeh.

Belum ada pergerakan memang, mengingat Si jabang bayi baru seumur jagung. Benar juga, selama mengandung ia tidak pernah memeriksakan ke dokter kandungan. Belum tahu usia janinnya. Mungkin ia bisa pergi ke rumahsakit bersama Sasuke. Ya, seperti sepasang suami-istri dewasa lainnya.

Di lain pihak, sepertinya Itachi harus membeli penutup telinga musim dingin sekarang. Mendengar suara ibu dan istrinya bagai klakson mobil tanpa henti. Apalagi ia yang menjadi korban kekesalan dua wanita cerewet itu.

Baru kali ini, selama hidupnya duapuluh lima tahun ada orang yang mencuri buah-buahan dan kotak susu ibu hamil, bekas pula. Kalau mencuri ponsel dan perhiasan wajar saja. Apa pencuri itu memiliki otak tak normal. Untuk apa buah-buahan sebanyak itu? Atau susu ibu hamil bekas yang baru ia beli kemarin. Sebagai ganjaran, ia dituduh memakannya. Hei, ia rasa perut karet pun tak kuat memakan buah-buahan sebanyak itu.

"Sasuke, kau darimana?" Pria sulung itu bangkit, menatap adiknya yang baru saja memasuki rumah.

"Ketempat teman." Sasuke melirik sekilas, lalu melangkahkan kakinya kembali.

Itachi hanya mengangguk mengerti. Sebenarnya agak aneh juga melihat anak itu pergi kerumah temannya, mengingat tabiat-nya yang susah untuk bersosialisasi.

"Itachi!"

Pria berwajah asia itu langsung tersentak kaget. Ya ampun, ia lupa untuk membeli bahan-bahan yang sudah diceramahi oleh ibunya. Sebelum kena omel oleh wanita yang hampir memasuki umur setengah abad, Itachi langsung meraih kunci mobilnya diatas sofa.

~0o0~

Pemuda dewasa berwajah rupawan itu berdiri di balkon apartement di lantai sembilan, menatap dengan bibir mengembang keatas hamparan alat transportasi mewah yang lalu-lalang membelah jalan raya yang begitu ramai. Gedung-gedung tinggi pencakar langit menjulang dengan angkuh, seolah memberitahukan betapa megah-nya hidup di perkotaan metropolitan.

Our BabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang