Sebelum menjadi dirinya yang sekarang, Daniel bukan orang yang sering terpaku pada gadget.
Tapi karena pekerjaannya, ia sudah terbiasa paling tidak mengecek salah satu alat komunikasinya setiap 10 menit sekali untuk melihat apakah ada kabar dari Woojin, asistennya, atau dari klien yang menghubunginya secara pribadi. Terkadang ia bahkan melakukannya secara tidak sadar, jika tidak sedang di pesawat.
.
Setelah tertunda cukup lama, akhirnya liburan yang dijanjikan Daniel pada Jihoon, terlaksana juga. Mereka akan pergi ke salah satu daerah dataran tinggi selama beberapa hari.
Meski hanya di dalam negeri, Jihoon dengan sangat antusias memilih destinasi ini ketika Daniel memberinya pilihan pantai atau pemandangan hijau.
Daniel sendiri cukup antusias sekaligus menanti hari keberangkatan mereka, karena sangat jarang ini bisa terjadi.
Namun secara tidak terduga suatu kegelisahan mengganggunya beberapa jam sebelum mereka tiba di bandara untuk mengambil penerbangan yang sudah dipesan.
Ia membiarkan Jihoon memimpinnya ke tempat check in dan memesan jatah bagasi mereka, kemudian duduk di ruang tunggu terminal dan bahkan membiarkan pemuda itu berkeliaran sendiri membeli kopi kaleng untuk mereka.
Daniel terlalu sibuk menghubungi Woojin untuk memastikan salah satu kontrak proyek mereka berjalan dengan baik--hal yang membuatnya gelisah.
Daniel sungguh tidak bermaksud mengacuhkan Jihoon. Ia juga tidak sedang ditekan oleh siapapun. Ia percaya Woojin bisa mengatasinya dengan baik, terlebih proyek ini tidak bisa dikatakan besar, walaupun tidak kecil juga.
Tapi perasaan itu selalu saja ada. Perasaan tidak tenang jika ada pekerjaan yang melenceng dari rencananya.
"Eum, taruh saja di samping." pria berbahu lebar itu menjawab uluran kopi dari Jihoon yang langsung menuruti perkataannya.
"Masih 20 menit lagi." Jihoon bermonolog dengan nada antusias. Daniel meliriknya dan tesenyum sembari mengusap sekilas pipi gembil Jihoon dengan punggung tangannya. Tapi setelah itu ia kembali fokus pada tab di tangannya yang lain.
Woojin belum juga membalas setelah Daniel mengirim pesan beberapa saat yang lalu. Setelah menunggu beberapa menit lagi, akhirnya Daniel memutuskan untuk menginisiasi panggilan suara pada asistennya itu.
"Bagaimana?" ia langsung bertanya begitu mendengar suara rendah Woojin yang menjawab teleponnya.
Woojin berkata ia masih belum bisa menghubungi klien mereka secara langsung.
"Sekretarisnya bilang Mr. Jeon tidak ingin menerima telepon dan tidak berencana menandatangani apapun."
"Apa alasannya?"
"Mereka tidak mengatakan alasannya. Ia hanya bilang tidak mau."
Daniel menarik napas berusaha tidak bereaksi berlebihan.
Baru kali ini ia menghadapi klien seperti ini. Jika tidak ingat Mr. Jeon sudah di usia 50-an, ia sudah akan mengajak pria itu duel secara jantan saja.
"Aku sedang berusaha meyakinkannya lagi, bos. Kau sedang cuti, nikmati saja waktumu."
Woojin menyambung kalimatnya, tapi tetap saja Daniel tidak bisa tenang.
"Aku akan mencoba lagi menghubungi--"
.
Grip.
.
Kalimat Daniel terhenti.
Pandangannya turun ke salah satu tangannya yang beristirahat di atas lutut, yang kini sudah saling bertaut dengan jemari bulat milik Jihoon.

KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Gestures [NielWink]
FanfictionDitulis kalau ada ide saja, jadi tidak ada tamatnya. [Alternate Universe] Drabbles and oneshots about sweet gestures in Kang Daniel and Park Jihoon relationship. So, well... it's mostly fluff. WARNING: 📍 Shounen-ai/Yaoi/Boys love 📍 Pairing: NielWi...