Selangkah Yang Baik

588 98 13
                                    

Bismillahirahmanirahim

🍇🍇🍇

Suara azan yang bertalu-talu di masjid dekat rumah Lija hanya diabaikannya. Tidak ada satupun dari penghuni rumah yang bangun mengambil air wudhu. Suara dengkuran Abdullah bersaing dengan gelisahnya Liana di atas kasur. Pemandangan yang nyaris setiap hari melukis keluarga Lija. Padahal salat adalah tiang agama. Bahkan banyak sekali ayat yang menjelaskan dalam Al-Quran mengenai perihal salat. Salah satunya terdapat di dalam surah Al-Baraqah ayat 277 yang berbunyi. "Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal soleh, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”

Ketika matahari mulai meninggi kisaran pukul delapan pagi, barulah Liana mulai terjaga. Diliriknya sang suami yang masih setia dekap guling diselipi dengkuran beberapa kali. Sedangkan Lija, sudah bangun lebih awal dari Liana, setengah jam yang lalu. Tahu apa yang dia lakukan? Bermain ponsel sembari gulang guling membaca cerita wattpad.

Sarapan tersaji tepat satu jam kemudian. Mereka semua dipanggil oleh Liana dan berkumpul di meja makan dapur. Lija masih menguap-nguap, sama persis seperti Abdullah. Si kecil Keke tampak segar setelah diajak Liana cuci muka. Namun, bagi Lija dan Abdullah cuci muka tidak berefek bagi mereka. Beberapa kali nguap masih keluar dari mulut.

"Ayo, makan! Ayah mau ayam atau ikan?"

"Ikan aja, Nda."

"Lija mau apa?"

"Ayam bagian dada ada nggak, Bun?"

Liana menengok ke arah piring, carikan yang Lija minta. "Nih. Sayurnya ambil sendiri ya." Lija mengangguk.

Ritual makan Lija sedikit terusik dengan notifikasi pesan dari Sofi.

Sofi : Assalamualaikum, Ja. Hari ini lo ada kegiatan nggak?

Lija : Nggak ada Sof. Kenapa emang?"

Sofi : Kok salamnya nggak disahut Ja?"

Lija : Walaikumsalam.

Sofi : Ikut gue ke kajian yuk Ja. Kebetulan nanti siang ada ustaz Bahtiar yang ngisi kajian di Masjid Agung. Kalau mau, kita ajak Echa juga biar sama-sama. Gimana?

Bagi orang beriman ajakan Sofi mungkin tidak masuk dalam pertimbangan, mereka langsung bisa katakan iya kalau hari itu tidak ada uzur. Berbeda dengan Lija yang lemah. Antara malaikat dan syaitan bersahut-sahutan, ributkan telinga. Cukup lama Lija berpikir sambil makan. Pesan Sofi terakhir sebatas dibacanya. Lalu insiatif pertama kirimkan pesan ke Echa.

Lija : Cha. Si Sofi ngajakin kita ke kajian di Masjid Agung. Ikutan nggak?"

Echa yang masih olahraga tidak mendengar pesan dari Lija. Ia sibuk bersenda gurau dengan temannya di kompleks perumahan. Meskipun Echa memilik badan paling ideal di antara Sofi dan Lija, tapi dia paling menjaga kebugaran tubuh. Toh, olahraga bukan ditujukan hanya untuk orang-orang berbobot besar. Orang kecil seperti dirinya juga butuh olahraga untuk menjaga kesehatan bukan?

Usai makan, Lija bantu Liana cuci piring. Sambil mengusap busa, Lija ajukan pertanyaan. "Bun. Pernah kepikiran pakai jilbab nggak?"

Liana menoleh, rangkum wajah Lija dengan mimik serius. "Tumben nanya gitu."

"Nggak, Lija pengen tahu aja."

"Kepikiran sih ada, tapi bundanya aja belum siap."

"Siapnya kapan?"

"Nggak tahu deh." Sahutnya diselipi cengiran.

Lija simpulkan, bundanya memang yang mewariskan sifat labil dalam dirinya. Sama dengan jawaban Liana, Lija juga belum tahu kapan akan menutup kepalanya dengan jilbab. Penjelasan Arsya beberapa waktu lalu hanya masuk dalam pikiran, belum meresap ke hati. Banyak yang berkecamuk di kepala, salah satunya takut tidak bisa lakukan aktivitas suka-suka mereka karena dibatasi dengan jilbab. Padahal, jilbab tidak mengurung seseorang dalam kegiatan apapun kecuali yang bertentangan dengan syariat islam. Mungkin, itu yang Lija khawatirkan.

🍇🍇🍇

Di sinilah mereka. Menyimak suara ustaz Bahtiar dari jarak jauh. Tidak bisa spesial duduk dengan spasi paling dekat karena Lija terlalu mengulur waktu. Belum lagi kesusahan mencari jilbab di rumah. Milik Liana pun sudah kusut, tersembunyi ditumpukan yang nyaris tidak tersentuh, modelnya pun bukan keluaran terbaru. Hanya jilbab segi empat biasa berbahan tipis, warnanya abu-abu, pun satu-satunya yang Liana miliki. Terakhir ia pakai saat kakeknya meninggal sewaktu Lija masih berumur tujuh tahun.

"Ja, lo nggak setrika jilbab?" Suara milik Echa memang sedikit ganggu telinga.

Lija melirik tajam, rasanya ingin menyumpal mulut Echa di tengah muslimah lain yang mungkin tingkat perdengarannya di atas rata-rata, Lija malu. "Lo bisa diam nggak? Jangan bikin gue pulang!"

Echa cekikikan. "Maaf."

Adalah Sofi yang paling serius menyimak. Buku catatan setia temani jemarinya saat kajian berlangsung. Apalagi ustaz Bahtiar membahas dosa-dosa perempuan, salah satunya ghibah.

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang. Jangan pula menggunjing satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hujurat: 12)

Sebenarnya, Lija dan Echa kurang betah duduk dikelilingi ratusan orang yang imannya sudah terpupuk tinggi. Mereka merasa rendah, juga malu karena datang membawa iman separuh dari yang mereka miliki. Padahal, tidak semua yang berada di sana suci. Justru, banyak pendosa yang ingin tinggalkan masa kelam. Duduk di sana, catat semua apa yang disampaikan untuk diterapkan ilmunya pada kesehariaan. Bukan berarti pendosa tidak boleh masuk ke ranah orang-orang yang mengaku dirinya taat syariat. Sebaliknya, semua menyambut tangan-tangan penuh lumpur yang pernah menancapi hati dengan secuil kotoran untuk dibasuh agar kembali bersih. Bukankah polanya selalu sama? Kotor sama dengan bersihkan. Begitu seterusnya. Sampai batas dunia habis.

"Sof, nanti gue pinjam ya catatannya." Cengiran yang terlalu memaklumi. Jangankan mencatat kajian, menyalin penjelasan dosen saja Lija malas. Harus merengek dulu ke Rayyan supaya dipinjami. Kebiasaan buruk.

Suara Echa menyusul belakangan. "Habis Lija, gue ya Sof." Gelengan berkali-kali. Demi tularkan kebaikan, Sofi rela tangannya lebih dulu pegal mencatat. Otaknya seolah diatur seperti kaset, rekam baik-baik semua apa yang diputar.

Lalu apa yang dilakukan Echa dan Lija?

Mereka duduk menyandar di tembok masjid. Kipas-kipas dengan bekas kardus aqua. Beberapa kali menyimak, sisanya membahas cerita wattpad. Astaghfirullah.

Sofi tetap bersyukur. Mereka mau datang ke kajian saja itu sudah menunjukkan progress yang bagus untuk kelangsungan hijrah mereka. Soal hasilnya, Sofi serahkan pada Allah sang pembuka mata hati. Di sini Sofi hanya masuk bagian ikhtiar bukan bab kesimpulan. Allah yang punya kuasa atas hati mereka. Sofi yakin, pelan-pelan jalan mereka menuju hijrah akan terbuka. Untuk sekarang, grafik memang terlihat sangat lambat. Ibarat sebuah anak perusahaan, mereka masih harus banyak belajar untuk membangun pondasi agar lebih kuat. Sofi berikrar membantu mereka semampu yang ia bisa. In Syaa Allah.

Saya harap selain teman kamu, kamu juga bisa hijrah sama seperti dia.

Mata Lija membulat besar, dapati pesan dari Arsya yang berisi doa. Apa ini? Kenapa Arsya seolah mendorongnya ke titik yang lebih baik? Bukankah dia hanya seorang pembaca dari ribuan penyuka karyanya?

🍇🍇🍇

Syukron sudah mampir ke sini. Semoga terhibur dan bermanfaat😊

Memeluk Noda Tinta BerputihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang