Saat itu, kawan

27 0 0
                                    


Hari yang tak begitu cerah, sedari tadi hujan terus mengguyur sudut kota, rumah kecil rapi dan harum itu tiba tiba berbau busuk karena seorang laki-laki yang tak dapat menahan kentutnya.

"Kau berulah lagi ya Kak!" Ucap Ringpo.

"Apa?" Tanya Jinggo.

"Berhentilah meracuniku dengan gasmu itu setiap hari!"

"Kau yang selalu meracuniku setiap hari, omong kosong apa yang kau bicarakan. Aku baru sekali hari ini."

"Ibuuuu... Kakak benar-benar ingin membunuhku. Dia bahkan membunuhku secara perlahan, betapa kejamnya dia." Rengek Ringpo pada Ibunya yang baru saja sampai di ruang televisi "makanan yang Ibu bawa harus kukembalikan ke dapur..."

"Eeee... Kenapa?"

"Makanan itu bisa teracuni."

"Aku baru sekali, kau sudah berkali-kali." Ucap Jinggo mulai berdiri.

"Ibu... dia mengejekku lagi..."

"Jinggo sudahlah, adikmu juga sudah sembuh dari sakitnya."

"Sakit apa itu, muntah berak, sering ketut." Ejek Jinggo tanpa henti.

"Hey, umur kalian berapa? Cepat Ringpo pergilah ke sekolah sebelum terlambat dan kau Jinggo, apa kau tidak ada jam kuliah hari ini?"

"Tidak." Ucap Jinggo santai.

"Bekerja?" Tanya Ibu lagi.

"Ini akhir tahun ibu, pekerjaanku libur, kalau aku jualan kembang api dan petasan mungkin aku tidak akan libur hari ini."

"Baiklah. Bosmu sangat baik padamu, ibu harap kau juga menghormati dan baik padanya, dia mau menerima part time sepertimu, itu karena dia masih ada hubungan darah dengan keluarga kita."

"Ah... aku bosan disini, Ibu selalu membahas masalah itu, saat aku bekerja, aku sudah dengan tulus sepenuh hati, tanpa membawa yang namanya keluarga. Aku ingin tidur."

"Ini sudah pagi, kenapa tidur lagi?"

"Baiklah, aku akan bangun dan mengantarkan adikku yang cantik ini ke sekolah, lagi.. kenapa kau berusaha membantu teman-temanmu saat seharusnya kau libur." Tanya Jinggo pada Ringpo.

"Aku, membantu mereka karena mereka membantuku"

"Membantumu menjadi teman? Teman itu tidak usah diminta, teman itu tulus."

"Tau apa kau soal teman? Kau saja tidak punya teman."

"Tapi setidaknya aku tidak dibodohi disaat seperti ini."

"Mereka tidak memintaku yang aneh-aneh, hanya memintaku mengajari mereka."

"Terserah apa katamu, aku tidak peduli. Cepat! Aku akan menunggumu didepan setelah kau makan."

Hujan masih mengguyur, memang tidak sederas tadi malam namun udara yang terasa cukup membuat bulu kuduk berdiri kedinginan. Jam menunjukkan pukul delapan tepat, dimana seharusnya murid-murid kelas tiga sekolah menengah atas itu sampai setengah jam yang lalu. Ringpo, gadis itu bertekad menunggu hingga pukul sepuluh pagi. Walaupun akhirnya ia pulang jam sebelas siang.

Ia letakkan tasnya digantungan baju lemari didekat lotengnya, dia duduk di kasurnya sambil melihat hujan yang masih rintik di luar jendela kamarnya, begitu tertib, rapi dan jernih. Dia kembali mengingat kata-kata kakaknya tadi pagi. Ponselnya tiba-tiba berdering beberapa kali, beberapa pesan masuk dengan tergesa-gesa, dengan tersenyum ia membukanya. Permintaan maaf karena terlambat datang, dan akhirnya tidak pernah datang, sama seperti beberapa pesan di satu jam yang lalu dan dua jam yang lalu. Alasan yang berbeda namun intinya hanya satu, tidak dapat hadir. Alasannyapun dapat disimpulkan dengan mudah tanpa mereka harus mengetik terlalu lama dan terlalu banyak. Hujan rintik yang dingin. Cukup.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 23, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

CiwaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang