1 (selesai)

35 2 7
                                    


___It was difficult at first. More than I will admit
It was burdensome, but after accepting it, it makes me too sorrowfull___

Arti dari sebuah peristiwa menjadi kenangan adalah sebab hal itu telah berlalu dan kemudian terus tersimpan dalam benak. Terkadang kenangan datang dengan membawa sesak, dan terkadang datang membikin kalap. Namun sebagian besar dari kenangan yang dimiliki olehnya, hal itu hanya membuatnya merasakan rindu yang penuh luka. Kenapa? Karena rindunya berujung pada ketiadaan. Ketiadaan yang mengguncangnya begitu hebat, dan menjatuhkannya dengan keras sebab angin yang ia coba raih tidak membantunya berdiri. Dan ia terjatuh lagi, lebih dalam, dan hancur kembali. Dan hal itu membuatnya terlihat menyedihkan, karena ia sendiri bersama lukanya.

Lee Hyuk-Jae. Pria itu meringkuk di atas tempat tidurnya dan memeluk tubuhnya sendiri. Bunyi ponselnya sore tadi begitu mengganggunya—menggiringnya pada satu fragmen dimana saat ia memikirkan satu sosok yang sempat menghabiskan waktu bersamanya, disana hanya ada kenangan yang baik. Dan hal itu membuatnya kembali kalap, sebab masa yang dulu terasa begitu dekat dan menyapanya dengan hangat, kini seolah menikam dirinya dari belakang.


SATU

[Honestly, this is the truth;
There is no use in trying to hold on to the scattered pieces, it will only break my heart.
But as I continue living like this, I wonder what the point of living is]

Menggenggam erat kenangan yang telah rusak itu serupa menggenggam pecahan kaca; lebih sering membuat seseorang terluka dibanding tertawa. Tapi yang menarik dari kenangan adalah semakin kenangan berlalu, ia tidak akan semakin menjamur, namun terus hidup bersama jiwa-jiwa yang larut.

Meminjam dari ingatan lamanya, Hyuk-Jae menyadari pernah ada yang mengisi ruas kosong diantara jemari tangannya dan memberinya kehangatan yang menyengat—yang mengalir dari telapak tangannya dan menjalar menuju hati dan kedua pipinya. Juga pernah ada canda dan juga tawa yang dibagi dan tergambar manis seperti permen kapas merah muda.

Tapi yang tersisa dari ingatan Hyuk-Jae sekarang adalah, tangannya yang terasa kosong dan juga hatinya, dan hal itu memberi kesempatan bagi lara untuk mengisi sebagian besar dari ruang kosong itu. Dan kini ia kembali lagi diterpa sesak yang tak menyehatkan—yang menyulitkannya untuk bernapas.

Hyuk-Jae terlarut dalam laranya. Air mata menjadi satu-satunya pengharapan baginya melepas lara itu dan membasahi jiwanya, namun jiwanya yang gersang tak kunjung mereda, dan panasnya menyengat dada—membakar habis apa yang pernah ia kenal dengan kebahagian. Ia sempurna hancur, dan menjadi satu-satunya teman bagi hampa—yang tak pudar dalam kenangan.

Hyuk-Jae menepuk dadanya yang terasa sesak, berharap setiap kenangan menyakitkan dalam benaknya akan meranggas seperti daun maple di musim gugur. Namun musim seminya baru saja bermekaran—membuka setiap kuncup baru yang penuh dengan luka lama yang sama.


DUA

[I was resentful at first
And crying – I cried a lot
But after continuing on in this way
I wondered what I was doing]

Bintang tidak dapat berada di satu tempat yang sama. Sekali mereka mencoba untuk mencapai posisi yang sama, mereka akan bertabrakan dan hancur. Sama seperti cinta yang datang di tempat yang salah, hal itu hanya akan mencerai-beraikan sepasang hati—menghancurkannya menjadi kepingan yang saat coba disatukan tak akan kembali utuh.

Lee Hyuk-Jae tidak pernah serakah tentang perasaannya—ia tidak pernah meminta lebih dari apa yang ia miliki. Ia bahkan sudah berusaha melepaskan diri dari perasaan itu. Tapi kenapa perasaan itu terus saja melekat padanya, mengikatnya dengan kuat hingga ia seolah tercekik dan tersedak dengan lupan emosi dari perasaan itu—rasanya hampir gila! Dan meski daya upaya mencoba terbiasa, namun duka-lara tak pernah sirna.

Painting SpringWhere stories live. Discover now