Feliz Cumpleaños, Chacho

95 15 12
                                    


ChaPi

Fluff

Fluff

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

"Aman?" Chacho melihat ke segala penjuru dengan sorot waspada. Ia baru saja mengunci pintu depan dan menutup jendela.

"Ezra masih di rumah Pepita." Alexander masuk ke ruang tamu dengan membawa dua botol Salva Vida di tangan kiri, sedangkan tangan kanannya membawa satu potong cake di atas tatakan putih.

Chacho mengecek ke belakang untuk mengunci pintu juga sebelum kembali ke ruang tamu.

"Kenapa dikunci semua? Berhentilah bersikap seolah kita akan melakukan sesuatu yang ilegal, Chacho!" Alexander menggelengkan kepala, menaruh botol Salva Vida dan tatakan cake di atas meja depan sofa.

"Katamu kau tak mau adikmu lihat kita minum alkohol." Chacho mengempaskan tubuh di atas sofa, agak masam menatap Alexander. "Sudah kubilang, aku ingin ini dirayakan di rumahku, tapi kau tak mau."

"Ya, karena merayakan ulang tahunmu, di rumahmu... itu berbahaya bagi keselamatanku," sahut Alexander sambil lalu.

"Tuduhan tak berdasar. Kejam sekali cara berpikirmu, Papi. Mana mungkin aku membahayakan keselamatanmu di rumahku sendiri. Justru di sana kita bisa pesta harina dan panggil pelacur sampai pagi..."

"Nah, itulah maksudku." Alexander duduk di sampingnya, mengulurkan satu botol Salva Vida pada Chacho. Mereka saling menjentingkan ujung botol sebelum meminumnya.

"Feliz Cumpleaños." Alexander berucap datar, hanya minum satu teguk Salva Vida.

"Gracias, Letnan." Chacho tersenyum lebar, ikut meminum Salva Vida satu tegukan.

Alexander berdecak kesal. "Jangan panggil aku Letnan." Ia mengambil tatakan berisi sepotong cake, menyalakan lilin kecil di atasnya dengan lighter. "Nih, tiup."

"Harusnya kau nyanyi 'selamat ulangtahun' dulu untukku."

"Jangan harap! Sudah buruan tiup!"

"Ya ampun, Papi. Bahkan di ulangtahunku kau masih saja galak." Chacho menggaruk kepala plontosnya sebelum meniup lilin kecil yang ditancapkan pada sepotong cake matcha-almond.

"Sudah panjatkan keinginanmu?" Alexander mencabut lilin yang sudah ditiup dari cake, lantas menyorongkan piring cake tersebut pada Chacho.

"Tak perlu. Yang kuinginkan sudah ada tepat di depanku." Chacho cengar-cengir.

"Oh, iPhone barumu itu? Kau tak mendapatkannya dari rampasan juga, 'kan?" Alexander melirik ponsel baru Chacho di atas meja.

Cengiran Chacho raib dalam sekejap.

Alexander memperhatikan cake di atas tatakan yang belum disentuh Chacho. "Sudah, makan saja cake-nya. Itu kadoku untukmu. Jangan minta yang lain. Aku belum gajian."

Chacho menyorongkan kembali tatakan cake-nya ke dada Alexander, menatap sahabatnya dengan sorot memohon. "Suapin."

"What the hell?! No!" Alexander menggeleng jijik. "Berhenti memasang muka seperti itu, Chacho. Mesum!"

"Alex." Chacho mendesah. "Alexander~"

Alexander menyambar tatakan cake, menumpahkan isinya tepat di wajah Chacho. "MAKAN KUENYA DAN BERHENTI BERTINGKAH BERENGSEK!"

Chacho terjerembab ke punggung sofa, mengerang sambil terbatuk-batuk. Ia menyingkirkan tatakan dan susah payah membersihkan serpihan kue dan selai lengket dari mukanya. "Mamma mia, Papi... bisakah sekali saja kau ladeni candaanku?!" keluhnya.

"Tidak lucu, tahu!"

"Ya ampun, kapan sih aku pernah lucu di depanmu?" Chacho bangkit berdiri. "Mau beresin mukaku dulu. Sialan kau, ada yang masuk hidung nih." Karena sibuk mengomel pada Alexander, ia tak melihat kakinya mengarah ke mana. Saat tubuh kekarnya terjerembab jatuh ke lantai terantuk kursi, terdengar suara tawa spontan dari arah belakang.

Chacho mengaduh, lantas menoleh. Ia menggeleng melihat Alexander. "Astaga, jadi ini yang bisa bikin kau ketawa, eh?"

"Maaf," Alexander spontan menutup mulut dengan tangannya, masih tampak geli.

Chacho bangkit sambil menggerutu. Ia melanjutkan langkah ke kamar mandi, bibirnya diam-diam melengkung ke atas. Hari sakralnya, yang dulu selalu dirayakan oleh sang ibu dan Alex Kecil, tetap mereka peringati tiap tahun meski kini hanya sahabatnya seorang yang masih bertahan bersamanya. Anggota geng lain tak perlu tahu, dunia pun tak usah. Cukuplah bersama satu-satunya sosok berharga dari masa lalu yang tetap membersamainya hingga kini, dengan cara konyol dan canggung sekali pun, tak mengapa.

Mama, aku sudah 22 tahun sekarang. Sampaikan pada Pa aku telah tumbuh dengan baik. Oh, ya, akan kujaga bocah kesayangan Mama di sini. Dia punya adik juga yang lucu. Aku bersyukur bisa memiliki mereka sebagai pengganti kalian berdua.

Tetap tunggu aku di sana, Mama.

***

Chartreuse - On the Other SideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang