Siang membakar kota selagi lelaki Kumal itu duduk di sebuah kedai kopi di daerah Buah Batu.Dari empat karya sastra incarannya tempo hari,hanya dua yang berhasil ia dapat.Kini pikirannya sedang hanyut dalam salah satu buku,tatkala seorang pria berambut gimbal datang duduk disampingnya.
"Bagaimana?dapat buku pesarianku?"sapa si pria gimbal.Lelaki itu menunjuk ke arah kantong plastik di atas meja."Tadi Nadia mencarimu",lanjut pria gimbal sembari mengambil sebuah buku dari dalam kantong plastik.
"Bilang saya sudah mati".Tatapan sang lelaki tetap menempel pada barisan kata yang dibacanya.
Pria gimbal terkekeh."Ah,kau ini.Cewek cantik bahenol kayak begitu kau sia siakan.Lebih baik buat aku".
"Dia terlalu borjuis.Saya malas,bang.Enggak cocok".Ia meminum kopi hitamnya yang tersisa setengah gelas.
"Bah!Cape aku ini dengar kau mengeluh soal Borjuis dan proletar melulu.Kau kira kita hidup di awal abad 20?"Belum sempat lelaki itu melemparkan argumennya, datang seorang pemuda berwajah feminin,dengan rambut gondrong yang lurus tergerai.Ia turut duduk bersama dua orang yang sudah terlebih dahulu berada disana.
"Pak Jodi minta bantuanmu",ucap pemuda gondrong itu,kemudian meneguk kopi hitam tanpa permisi.
"Bantuan apa? Meliput?"Lelaki itu menutup bukunya.
Pemuda gondrong itu mengiyakan."Dia mau angkat berita soal Shinta Aksara,seorang sinden yang pernah mengharumkan nama bangsa di mancanegara,tapi seakan dilupakan di negerinya sendiri.Bahkan sewaktu sinden tersebut meninggal,enggak pernah ada perhatian tertentu dari negara".
"Menarik,Nanti kirim detailnya,Bud"ucapnya lalu membuat segelas kopi lagi.
Pria gimbal di sebelahnya masih mengotot minta nomor telpon Nadia,katanya untuk pendekatan.Pemuda gondrong di depannya terus berkicau soal keindahan Flores yang baru dikunjunginya beberapa pekan silam.Lelaki kumal itu tidak mendengarkan dan memilih memisahkan diri dari dunia nyata,kembali melebur dalam buku yang dipegangnya.Di halaman yang tengah ia baca termaktub kalimat:"Jatuh hati tak pernah ada dalam rencana manusia,mangsanya bisa siapa saja".
***********
Dua hari berselang,lelaki itu mengemban tugasnya Melengkapi data tentang Shinta Aksara.Narasumber berita adalah anak dari almarhumah,dan yang akan diwawancara.Kenapa bukan suami sang sinden, David Gunawan?Hal tersebut dipertegas oleh kantor berita di Jakarta,bahwa sudah ada wartawan lain yang akan mewawancarai David Gunawan.Padahal,tentu akan lebih menarik mewawancarai sang suami,lebih ada garis historis panjang yang bisa ditarik, begitulah pikir si lelaki Kumal.Bandung tidak begitu bersahabat saat ia turun dari sepeda motor tua.Debu menari di sorot lampu kendaraan yang hilir mudik di jalanan Braga;langit telanjang tanpa bintang;udara pengap;persis suasana Ibu Kota.Sang narasumber berkata bahwa dirinya berada di meja nomor sebelas dalam sebuah kafe.Lelaki itu pun bergegas melangkah ke arah meja yang dimaksud,dimana sesosok gadis berkaus merah duduk membelakanginya.Jemari gadis itu tengah asyik menari di atas tuts komputer jinjing; bibirnya komat kamit:telinganya dibekap earphones.Ia lebih memilih untuk tenggelam dalam alunan nada Guntur Satria, dibandingkan lagu dari Sixpence None The Richer yang disuguhkan di kafe.Ketukan kecil di pundak gadis itu membuatnya melepaskan lagu "Lembaran Baru"yang sedari tadi terus berulang di telinganya.
"Permisi",panggil si lelaki.Sang gadis menoleh ke kiri,dimana lelaki itu berdiri."Lho kamu....."Lelaki itu menunjuk sang gadis.Manan mungkin dirinya lupa pada wajah yang beberapa hari lalu sejenak menghentikan jagatnya?
gadis itu mengerutkan dahi,berupaya menerka.Beberapa detik berselang,ia seolah tersadar."Aku ingat kamu!"serunya seraya menunjuk balik."Kamu yang menabrak aku di Palasari,kan?"ia lalu tertawa.Lelaki itu menimpali dengan canggung.
"Ana Tidae.Panggil aja Ana."Dengan nada riang ia memperkenalkan diri.
Lelaki itu lantas duduk di seberangnya.Pandanganya melekat pada sang gadis,mungkin heran dengan konspirasi alam semesta yang kembali mempertemukan mereka;atau mungkin karena mengagumi wajahnya yang berpendar menyapu gelap,kala mentari telah bosan bercengkrama dengan bumi.Gadis itu serupa bintang jatuh.
"Jadi punya nama?"seloroh sang gadis.
"Ah maaf.Juang Astrajingga."Mereka kemudian langsung berbincang perihal Shinta Aksara dan sepak terjangnya di dunia musik,hingga berhasil keliling Eropa bermodalkan suara emas.Tak disangka,ternyata Ana cukup kritis pemikirannya,dan cerita yang dikemukakan soal mendiang ibunya bukan cuma perkara emosi belaka.Gadis itu tidak mempersalahkan kucuran dana,atau sematan gelar yang tidak kunjung didapatkan sang ibu;ia hanya mengeluhkan sang ibu yang terkesan dilupakan oleh bangsanya sendiri.
Setelah wawancara resmi selesai,obrolan mulai merambat ke sana kemari;ke perkuliahan Ana di bidang pertanian;ke aliran musik folk yang sedang digandrunginya;ke novel favoritnya;ke film-film Noir yang menurutnya romantis:kemanapun,tentang apa pun.Satu setengah jam berlalu,gadis itu harus undur diri.Semua selain dia, seolah terlalu cepat bergerak hingga Juang mengutuk sang waktu yang tak mampu sejenak saja berkompromi agar berhenti.
"Oh ya,kamu tadi bilang,suka film noir,kan?Alfred Hitchcock termasuk?"tanya Juang sambil memasukkan alat rekam ke dalam tas.
"I love Hitchcock's kenapa?"balas Ana.
"Saya baru ingat.Ada seorang kawan menggelar nobar maraton karya Alfred Hitchcock.Sekaligus diskusi.Di galeri seni,di bukit Pakar."
"Serius?"Mata gadis itu seketika berbinar.
"Misalkan mau ikut,nanti saya minta dia kosongkan satu kursi lagi",Juang menawarkan.
"Mau banget;Terima kasih,ya.Kabari saja tanggal dan jamnya."
"Sampai berjumpa disana kalau begitu."
Gadis itu mengangguk setuju.Sejurus kemudian ia pergi.Mungkin keluar angkasa,tempat bintang semestinya berada.
KAMU SEDANG MEMBACA
Konspirasi Alam Semesta
Romansacerita konspirasi alam semesta oleh:fiersa bersari