Hujan

47K 1.1K 31
                                    

Kasih tahu kalo ada typo!

***

Untuk pertama kalinya Clarisa sarapan di rumah orang yang belum ia kenali secara mendalam. Ia mengambil tasnya dan berjalan turun dengan langkah perlahan. Saat berada di anak tangga, ia dapat mendengar jelas suara percakapan dari meja makan. Perlahan, ia melangkah mendekat kemudian mengucapkan selamat pagi pada mereka.

"Wah, Clarisa udah selesai, ya?"

Clarisa tersenyum kemudian mengambil tempat tepat di samping Rio. Ia menaruh tasnya di bawah lalu menatap kedua orang tua Rio. "Maaf nunggu lama."

Clarisa menoleh dan menatap Rio yang tampak sibuk dengan menaruh makanan di atas piring. Cowok itu tampak sibuk dengan makanannya daripada mengurusi hal lain. Keadaan memang sedikit canggung. Namun, mama Rio dengan cepat mengatasi. Wanita itu berusaha membuat para penghuni untuk berbicara santai, akan tetapi itu tidak mengubah segalanya. Clarisa tetaplah canggung dengan orang-orang baru di sini.

Setelah mereka selesai makan, Clarisa membantu mama Rio untuk membereskan peralatan makan. Baru setelah selesai, ia melangkah menuju depan gerbang rumah Rio. Belum ada tanda-tanda Rio keluar dengan motornya. Ia mendongak dan menatap langit yang tampak cukup gelap. Ia rasa hari ini akan turun hujan.

Terdengar deru motor yang mendekat. Clarisa menoleh. Tampak Rio yang datang dan memberhentikan motornya di depan Clarisa. Saat Clarisa akan menaiki motor, Rio malah menyuruh Clarisa untuk diam di tempat yang tentunya membuat gadis itu menuruti apa kemauan dari cowok itu.

"Denger baik-baik, nggak boleh ada yang tau kalo kita tinggal satu rumah. Meskipun itu Cika sekalipun, gue tetep nolak. Lo harus jaga rahasia ini. Di sekolah, kita kayak biasanya, nggak ada yang berubah. Satu lagi, kita nggak bakalan naik motor bareng di sekolah. Nanti dan seterusnya, lo bakalan gue turunin bukan di area sekolah, paham?"

Clarisa hanya mengangguk lalu menaiki motor Rio. Lagipula itu juga yang akan ia lakukan. Bisa-bisa ia akan dipandang aneh oleh teman-temannya jika secara tiba-tiba ia dan Rio bisa berangkat dan pulang sekolah bersama. Ditambah, Rio bukan saudara, teman, apalagi pacarnya. Hanya seorang musuh dan mungkin akan terus seperti itu selanjutnya.

Selama di perjalanan, Rio maupun Clarisa tidak ada yang berniat untuk membuka percakapan. Menurut mereka, membuka percakapan di antara mereka yang sedari dulu terus mengebarkan benda perang bukanlah hal yang wajib mereka lakukan. Terlalu aneh. Mereka hanya akan berbicara jika ada hal yang penting, saling menjahili, saling marah-marah, atau malah ketika mereka sedang mengalami gabut.

Seperti ucapan dari Rio, Clarisa diturunkan di jalan. Beruntungnya jarak antara sekolah dengan jalan yang Clarisa pijak tidak terlalu jauh. Mungkin hanya dalam waktu kurang dari lima menit Clarisa akan menyelesaikan perjalanannya.

Clarisa berjalan dengan langkah perlahan. Kedua tangannya mencekal erat pegangan pada tasnya. Angin terasa begitu kuat. Beruntung, rambut panjangnya ia ikat hingga tidak sampai terbang dan menyulitkan dirinya untuk merapikan.

Clarisa tiba di kelasnya dengan cukup lelah. Ia sendiri yang bisa dikatakan cukup malas gerak merasa hal seperti tadi cukup melelahkan. Maka dari itu, hampir semua olah raga tidak ia sukai. Hanya ada beberapa olah raga yang ia suka, itupun yang tidak begitu banyak menguras tenaga. Tentu hal itu membuat beberapa hal tentang olah raga tidak bisa ia kuasai. Beruntungnya di saat ia yang termasuk kaum mager memiliki tubuh yang kecil walaupun makannya yang bisa dikatakan cukup banyak.

"Lo habis maraton atau gimana sih, Ris? Itu keringat lo sampe banjir gitu."

Clarisa mendongak dan menatap Abraham yang tampak menatapnya dengan raut cukup geli. Pria itu kemudian berjongkok di hadapan Clarisa yang kini tengah meluruskan kaki di lantai. Tangan Abraham kemudian terulur untuk membersihkan keringat yang berada di kening Clarisa.

CLARIO✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang