[BAB 3] ☕

49 8 5
                                    

"Jika saja aku tahu kau hanya berniat untuk singgah, seharusnya aku hanya menjamumu dengan secangkir kopi, bukan hati."

☕☕☕☕☕☕


       Aku duduk disebuah taman yang tidak jauh dari kampus. Aku memilih pergi ke tempat ini setelah mengambil ponselku yang tertinggal di kampus. Taman ini berada di seberang jalan. Taman yang sepi, seperti sudah lama tidak digunakan dan tidak terawat lagi.

Lampu-lampu taman yang redup hanya memberikan sedikit cahaya yang remang. Tak apa, aku sudah biasa dengan kegelapan. bahkan sebelumnya kegelapan adalah teman setiaku. Sebelum akhirnya lelaki yang telah mengecewakanku itu menarikku dari kegelapan dan memberiku cahaya terang.
Namun aku keliru, cahaya itu palsu. Aku dimanipulasi. Sekarang, aku kembali kepada teman lamaku, yaitu kegelapan. Biarlah begini, aku kembali bersembunyi di balik kegelapan. Hingga pada akhirnya akan ada cahaya tulus yang membawaku pergi dari kegelapan ini.

Pikiranku kacau, kejadian tadi masih terlintas dipikiranku. aku menangis sederas-derasnya, memukuli diriku sendiri. Betapa bodohnya aku membiarkan hatiku terluka oleh lelaki seperti dia. Aku kira semua yang dia lakukan kepadaku tulus. Aku kira dia laki-laki baik. Namun ternyata munafik.

Langit marah, ia menampilkan kilatan putih dan suara yang keras. Tak lama kemudian hujan turun sangat deras menyirami sudut kota ini. Angin pun berhembus kencang tak tentu arah. Aku masih terdiam kaku di sebuah kursi di taman ini. Hujan seolah mengerti perasaanku. Langit seolah mewakili amarahku. Dan angin juga seolah mengerti gejolak di dalam dadaku.

Disaat orang berhamburan lari untuk melindungi diri dari hujan, aku malah membiarkan hujan menyirami diriku dan menangis lebih deras. membiarkan air mataku jatuh layaknya hujan yang jatuh ke bumi malam ini. Aku tak peduli dengan rasa dingin yang menembus kulitku, yang aku ingin semuanya lepas malam ini. Berharap semua perasaanku lenyap dibawa guyuran air hujan.

Hujan telah berhenti. suara amarah langit tak terdengar lagi. Aku tidak sadar. Lama aku berdiam diri disini. Meratapi diriku yang menyedihkan. Tubuhku kaku, aku menggigil kedinginan. Entah jam berapa sekarang, aku tak peduli. dan suasana di sini sudah tampak sangat sepi. Malam pun semakin gelap tetapi rasanya aku tak ingin pulang. aku masih ingin berlama-lama disini. tapi tampaknya taman ini semakin menyeramkan. Aku mencoba berpikir kemana aku harus pergi untuk menenangkan diri.

Costa cafe. ya cafe itu terlintas di pikiranku. Walaupun tadi sore aku sudah kesana, tak ada salahnya jika aku datang lagi kesana, bukan? Aku segera berdiri dan berjalan menuju cafe itu. Bajuku basah kuyup tapi aku tidak memperdulikan itu.

Aku sudah sampai di depan cafe dan segera masuk ke dalam cafe itu.
Aku mengerutkan alis bingung, cafe itu tampak sepi, tak satupun ada orang disana. Aku menyapu pemandangan yang ada di cafe itu. Mataku terhenti pada objek seorang lelaki yang sedang sibuk membereskan sesuatu.
Iya, dia barista baru yang aku lihat tadi sore.
Barista itu terkejut dengan kehadiranku, selang beberapa detik barista tersebut menghampiriku.

"Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya memulai percakapan.

Aku hanya diam, tak menjawab. Hanya memandanginya dengan tatapan sendu.

"Hey? Ada apa denganmu? Kau basah kuyup, apa kau baik-baik saja?" tanyanya bingung.

"Hmm t-tidak, aku baik-baik saja" ucapku terbata-bata.

"Benarkah? Lihatlah penampilanmu, sangat kacau. Aku tahu kau tidak sedang baik-baik saja. Bahkan aku tau kau abis menangis"

Aku tak menjawab. Hanya diam dan menundukkan kepala. Apa yang dia katakan sangat benar. Aku tidak sedang baik-baik saja. Aku hancur.

Secangkir EspressoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang