S Town, July 2056
Gedung-gedung kota memang sedang kelihatan congkak oleh cara mereka berlomba menggapai langit, sambil dihujani terik surya, lalu di bawahnya, di antara bentang aspal yang serupa suhunya bahkan mungkin lebih dari parasan kaca—di situ Mari tengah lalu lalang bebas tanpa kendala. Mungkin sejak sejam tadi kala jin pun kemejanya tercemar abuk, mungkin lebih daripada itu saat bedaknya ikut luntur disapu leleran peluh, dan sekarang Mari tiada menaruh peduli teramat lebar atas itu. Tujuan dia cuma satu, dan sayangnya tiada yang boleh tahu. Hanya Tuhan, Tuhan saja, sedang kepada-Nya Mari gantungkan harap supaya pencarian jati atas satu kebenaran mampu buatnya tangguh dan sanggup menaruh paras—mengangkatnya tinggi-tinggi tanpa perlu sembunyikan tunduk di belakang tegaknya kepala. Oh, astaga, hidup memang gila. Dan ini kutukan yang hanya harus Mari lalui. Belum tahu bagaimana ujung benangnya, tapi Mari sedang pegang keyakinan buat cari celah menuju ketenangan atma.
“Papa tak bersalah. Papa tak bersalah. Semua bukan perbuatan Papa, dan aku harus temukan buktinya.”
Begitu bunyi rapal yang terkomat-kamit dalam jeluk batin, Mari lakukan itu sambil bawa langkahnya tanpa takut lagi kalau-kalau wajah eloknya berhasil menarik perhatian lantas dikenali kawanan musuh papa. Terus saja jalan tanpa menyeka bulir ekskresi yang keluar dari persembunyian di bawah pori ari; tetap kakukan wajah dan pasang topeng yang likutkan gelisah tepat di belakangnya.
Rakyat memang telah hilang rasa percaya terhadap rezim. Segenap iris mereka cuma tujukan perhatian ke pokok empunya kuasa. Entah itu kemujuran atau malang lainnya, Mari yang mestinya turut serahkan diri sebagai tawanan negara berhasil hilang dari daftar gelap dan masih mampu kakinya melangkah bebas ke mana-mana. Tanpa ajudan, oh, memangnya dia siapa sampai harus dikawal?—bukanlah putri cantik yang dikurung dalam sangkar emas layaknya Roan. Tanpa gugup gentar soal kemungkinan serangan tiba-tiba seperti yang terjadi pada Joshua—itu mengerikan dan Mari sempat berdoa buat keselamatan pria itu di antara mata yang pakukan atensi ke pewarta berita dalam teve usangnya.
Ternyata jadi anak haram yang tak dapat pengakuan dari papa mampu buatnya sanggup bernapas meski mungkin tinggal sebentar. Sayangnya Mari tiada menduga bahwa papa tak pernah diam saja, sayangnya Mari tiada mengira bahwa papa tak sudi biarkan dia hidup tenang bersama mama.
Meski begitu Mari amat menyayangi papa, andai saja beliau mau tahu. Tak perlu berlaku curang, Mari mau melaksanakan pinta papa asal beliau benarlah di pihak yang putih. Namun nahasnya Mari, dia tak pernah menyadari kalau papa sedang jadikan dirinya sebagai umpan ‘tuk temui mesiu yang harusnya renggut napas papa terlebih dulu. Mesiu itu benar-benar ada wujudnya. Langkahnya sengaja bak diburu masa dan berupaya wujudkan konspirasi berbahaya. Peluru bernyawa itu benturkan badannya begitu saja ke Mari tanpa sempat diduga. “Ah, maaf Nona, aku kurang hati-hati dan sedang buru-buru,” katanya. Iya, mesiu itu bisa bicara, sayangnya Mari belum tahu kalau laki-laki yang berperawakan tegap, mungkin setinggi papa, punya dua lesung yang buatnya manis di pipi kiri pun kanan—pria yang bukan cuma bibir saja, melainkan irisnya ikut senyum untuk Mari—dialah jati diri mara yang sungguhan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eroina
FanfictionMari tidak pernah menyangka kalau putaran hidup membawanya pada kisah yang begitu pelik. Tentang Namjoon, siapa dan apakah tujuan sebenarnya dari pria itu? Mampukah Mari menemukan simpul pasti tentang arti dari keberandannya dan kesinambungan diriny...