Prolog

18 2 0
                                    

Aku memandang mereka dengan senyum kemenangan, sedangkan mereka balas menatapku sinis. Ingin aku tertawa jahat terhadap mereka disaat berada di posisi ini –seperti yang biasa mereka lakukan padaku, tapi aku menahannya.

“Cepat katakan apa yang kau dapatkan!” perintah Kirei.

Aku ragu untuk mengatakannya, tapi tiba-tiba bayangan perlakuan kejam mereka kepadaku membuatku yakin untuk membuat keputusan.

Hanya saja...  aku menjadi bergidik ngeri jika teringat perkataan kakek tua di toko barang antik tentang pesan tersirat akan bahayanya permainan ini.

Untuk memperjelas mengapa aku ragu dalam mengambil keputusan, mari kuceritakan alur kisahnya dan apa yang sebenarnya sedang terjadi diantara aku dan mereka.

Di suatu siang yang terik awal musim panas...

“Cepat belikan kita tiga gelas soda, Ella!” suara Izzumi terdengar melengking, membuat telingaku memanas dibuatnya.

Aku segera berlari tergopoh-gopoh menuju kafetaria karena tak ingin tersiksa oleh teriakan mereka yang selanjutnya.

Sesampainya di kafetaria, penampakan penampilanku benar-benar acak-acakan, terbukti dari pandangan penghuni kafetaria yang menatapku prihatin. Aku mengintip penampilanku dari kaca etalase dengan malu-malu, kacamata melorot, rambut berantakan dan wajah basah dibasuh peluh. Sungguh penampilan menyedihkan atau bisa dibilang “mengerikan”.

“Mau pesan apa, Nona?” seorang pramusaji menawarkan.

Sial, aku lupa menanyakan soda rasa apa yang mereka inginkan. Mustahil bagiku kembali berlarian ke taman sekolah hanya untuk menanyakan keinginan seorang ”tuan putri” di cuaca seterik ini.

“Tiga gelas soda rasa apapun itu,” jawabku asal.

Sang pramusaji mengernyitkan dahi, mungkin dia berkata dalam hati, gadis yang aneh.
Biarlah.

Sepuluh menit kemudian aku sampai di taman hanya untuk menyambut omelan mereka.

“Dasar gadis bodoh, sejak kapan aku mau minum soda rasa lemon?” bentak Ayomi.

Dan sejak kapan aku peduli tentang apa yang kau suka dan apa yang kau benci? Sayangnya aku hanya berani mengucapkannya dalam hati.

Beberapa detik kemudian aku merasakan seragamku mulai basah dan terasa lengket.

“Kurasa kau yang menyukainya, Ellla. Aku memberikannya padamu sebagai imbalan pengorbananmu,” kata Ayomi sinis disusul dengan tawa jahat kedua sahabatnya.

Sial! Umpatku dalam hati. Aku meremas ujung rokku sambil menggigit bibir. Seandainya aku tak terlahir sebagai gadis culun. Seandainya aku terlahir sebagai gadis populer yang memiliki kekuasaan. Seandainya saja.

“Maafkan aku, Ayomi,” ucapku lirih.

“Kurasa gadis penurut ini telah mengetahui letak kesalahannya. Mari kita pergi,” serunya pada kedua sahabatnya.

Tak lupa mereka melakukan rutinitas beradu bahu denganku sebelum pergi, membuatku harus terhuyun beberapa langkah ke belakang.

Semoga keadilan menyertaiku.

“Sampai jumpa besok, Ella!”
Aku mendengus kesal, “namaku bukan Ella!”  tentu saja mereka tak akan mendengarnya.

^ * ^

“Rupanya kau siswa teladan, Ella!” terdengar suara bernada sarkasme dari arah belakangku.
Aku menoleh setelah berhenti mengibaskan sapu di lantai, memperbaiki posisi kacamataku yang terasa melorot. Ternyata mereka, aku tersenyum sekedarnya.

Kartu Kesempatan Terakhir (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang