Razi tiba di gedung perkantoran Kasablanka tepat pukul sembilan. Di parkiran sudah ada sebuah mobil Fortuner berplat merah dengan sopir yang siaga di dalam. Setelah meminta Mang Ajat menunggu, dia langsung keluar dari mobil dan bergegas ke kantornya yang terletak di lantai dua. Kantor itu dia sewa bersama Alex dan Olaf, dua teman kuliahnya yang setuju untuk bergabung merintis usaha real estate. Bisnisnya belum bisa dibilang sukses, namun siapapun bisa melihat masa depan cerah dari mereka bertiga.
"Assalamualaikum, maaf telat" Razi membuka pintu kantornya yang sudah terbuka sedikit. Di ruang penerimaan tamu ada Alex beserta tiga orang pria berjas rapi, tanpa terlihat, Razi menandai beberapa poin dari para tamu tersebut,
"Waalaikumsalam, aduh bro sori banget ganggu honey moon lo" Alex berbisik setelah menyalami Razi,
"Santai bro, selamat datang bapak-bapak, maaf saya baru bisa hadir" Razi menyalami mereka bertiga satu persatu. Salah satu diantara mereka sedikit bermuka masam, aha, lo yang pertama, batin Razi sambil mengulum senyum,
"Langsung saja, kami ke sini atas perintah bapak walikota terkait pengembangan lahan untuk tiga apartemen di daerah Pakuwon." Bapak berdasi biru dengan gurat masam tadi membuka pembicaraan.
Razi sudah menduga permasalahan ini, dalam kurun waktu hampir setengah jam mereka berdiskusi alot. Utusan dari Walikota itu kentara sekali sudah tidak sabar ingin segera menuntaskan pekerjaannya, dia mulai menekan Razi dengan jabatan yang dia pegang. Razi paham betul orang ini tipikal perongrong yang hanya akan takluk dengan uang.
"Begini saja, Dek Razi" Bapak berjas itu merubah posisi duduk, "sebenarnya saya bisa menghandle semua, tapi ini akan makan waktu setidaknya dua bulan, itu pun jika Pak Walikota setuju. Ada jalan lain yang lebih mudah, tapi itu ada harganya"
Dia menekankan kata "harga" dengan intonasi suara rendah tapi menusuk,
"Baik Pak Dani, saya setuju, saya ambil opsi pertama" Razi membalas tanpa ragu, sebelum Pak Dani sempat menjawab, Razi sudah kembali menyela, "Aha, Seamaster 120?,"
"Eh, iya Dek." Pak Dani membetulkan letak jam tangannya, gotcha!
"Seri baru udah keluar Pak, kemarin saya sempat tolak supplier yang nawarin Constellation"
"Hah serius kamu?!" Tiba-tiba sikap Pak Dani berubah melunak,
"No doubt, tapi maaf sebelumnya, saya nggak bisa lama-lama Pak, sekali lagi, kami memilih opsi pertama yang menunggu dua bulan, saya rasa tidak ada masalah, dan untuk masalah jam tadi, ini kartu nama saya" Razi mengeluarkan kartu namanya dari dompet.
Setelah bersalaman dengan semuanya (meninggalkan Pak Dani yang terbengong), dia langsung keluar dari kantor, tapi sebelum mencapai tangga, dia memutuskan untuk memakai kartu As berikutnya,
"Satu hal lagi Pak Dani, tolong sampaikan ke Ibu Walikota, pesanan dari Cartier udah di tangan saya, tapi saya berpikir ulang buat ngelepas, Lex, gue duluan yak" Razi langsung berlari kembali, kali ini meninggalkan mereka berempat kebingungan.
****
Sebelum masuk tol, Razi menyempatkan diri membeli seikat mawar merah untuk istrinya di toko bunga langganan kantor. Pertemuan tadi hanya berlangsung tiga puluh menit, tapi rasanya sudah tiga bulan Razi meninggalkan Tami. Dia meminta Mang Ajat sedikit ngebut dengan alasan mengejar pesawat, walaupun aslinya dia hanya tidak mau kehilangan momen bersama wanita baru yang sekarang mengisi tiap sudut hatinya.
"Loh kok cepet?," Tanya Tami ketika Razi baru saja sampai,
"Iya, masalah kecil kok, oh iya, menurut kamu ini bagus gak?," Razi menyodorkan bunga mawar tadi yang sudah diberi pita biru,
"Ih ya ampunn, cantik banget," Tami mencium wangi bunga itu,
"Cantik ya? yaudah buat kamu aja," kata Razi,
"Kamu beli ini sengaja buat aku?," tanya Tami,
"Emm gimana ya," Razi menggaruk kepalanya yang tidak gatal, "Yaudah pokoknya itu buat kamu" Lalu dia berlari ke kamar, menyembunyikan mukanya yang memerah,
Bersambung