BRAKKK!!!
"SINI LO!!"
Pintu kamar menjeblak terbuka, Alex berlari sekuat tenaga menghindari Razi yang mengejarnya sambil mengibas-ngibas bantal ke segala arah. Mereka berkejaran di sepanjang mezannine, tangga, teras sampai dapur,
"Aduhh apa sih iniiii" Tante Laura yang sedang membuat sambal sampai harus mengangkat tangan karena badannya dijadikan tameng oleh Alex,
"Gak tau tuh Mi," Sergah Alex, Razi mencoba melibas wajahnya, berhasil! kacamata Alex sampai terpental, sebagai balasan, dia hampir kehabisan napas karena Alex memiting dan menggelitik pinggangnya secara brutal,
"HEEII UDAAHH!!" Tante Laura menjewer Alex sampai berdiri, lalu giliran telinga Razi yang ditarik keras ke atas, "Umur udah mau tiga puluh kelakuan kayak tiga tahun!"
"Abisnya dia duluan Tante," Razi memegangi daun telinganya yang sekarang mirip tomat terlalu matang,
"Sama aja! Udah sekarang bantuin Tante bawain nasi sama lauk ke meja makan, terus kalian berdua cepet cuci tangan!" Hardik Tante Laura galak,
Mereka berdua langsung patuh terdiam sebelum Ibu Alex tumbuh taring di siang bolong. Alex membawa sambal terasi, lalap dan ikan goreng sementara Razi mencabut rice cooker dan membawanya ke meja makan.
Tak berapa lama, makan siang sederhana itu telah siap. Razi menciduk nasi dan menyendok sambal kesukaanya, tak lupa mengambil lalap dan ikan. Razi menundukkan kepala sejenak,
"Mengheningkan cipta, mulai" Sindir Alex,
"Berisik" Balas Razi, dia lalu mencuil ikan dan sambal terasi, wuah enak!
"Aduh Tante, enak banget," Razi makan dengan lahap, "Ngomong-ngomong, Om Agus kemana? gak keliatan"
"Biasa, dinas ke Palembang, minggu depan baru di rumah lagi" Terang Tante Laura. Sambil makan, Razi menjelaskan kelakuan Alex yang mengirim CV dirinya untuk ta'aruf tanpa izin,
"Kan malu Tante," Kata Razi sambil mengambil nasi porsi kedua. Tante Laura selalu suka jika ada Razi di rumah, setidaknya tidak ada lagi makanan terbuang,
"Bandel kamu," Tante Laura mencubit lengan Alex, "Tapi diluar itu, udah waktunya loh Raz kamu cari pendamping hidup."
"Yah Tan, mana ada sih yang mau sama Razi, kerja tetap aja belum punya, kerjaan cuma numpang makan, terus mau disandingin sama putri raja? haduhh ngeri" Razi kembali berkonsentrasi dengan piringnya.
"Gak boleh gitu, kamu anak baik, dan setiap hari Tante berdoa supaya Allah kasih kamu istri dari perempuan terpilih." Tante Laura mengelus kepala Razi dengan rasa sayang.
Alex memperhatikan adegan tersebut dalam diam. Walaupun dia cemburu karena terkadang ibunya lebih menyayangi Razi dibanding dirinya, namun di lubuk hatinya, Alex sangat mengamini doa Tante Laura. Selain orang tuanya, Razi adalah orang paling berjasa dalam hidup Alex. Jika bukan karena Razi, dia mungkin tidak akan bertahan kuliah sekaligus menjadi salah satu ketua BEM terbaik semasa menuntut ilmu di Fakultas Komunikasi,
Jika bukan karena Razi, mungkin orang tuanya sudah cerai sejak lama...
Tiga belas hari kemudian
Razi membantu mengangkat sofa besar berwarna perak ke pelaminan. Karangan bunga untuk panggung baru saja sampai, Razi menginstruksikan beberapa pekerja tentang tata letak meja dan desain lampu. Setelah itu dia beristirahat sejenak di belakang pelaminan sambil memijit kakinya yang terasa sangat pegal.
Sudah hampir seminggu dia bekerja keras membantu tim Koh Ahong menyelesaikan dekorasi. Besok acara pernikahan itu akan berlangsung, dekorasi sudah hampir selesai, tinggal menambah beberapa booth. Tiba-tiba handphone Razi berdering,