Matahari pun Butuh Perhatian

14 0 0
                                    



"Ra, kayaknya gue mau pingsan!" suara di sebelah gue yang sudah setengah jam tadi berceloteh ingin pingsan tapi tak kunjung pingsan juga. Gue hanya berdehem.

"Ra... serius ini Ra... gue pingin pingsan!" rengeknya sambil kali ini menarik lengan gue, berharap gue menoleh dan terkecoh dengan jahilannya lagi.

"Ih... apaan sih? Daritadi loe bilang pingsan, pingsan, pingsan mulu. Tapi pas gue noleh, loe cuma nyengir. Berhasil banget buat gue ketipu berulang kali!" sesuai dugaanku, dia nyengir kembali.

"Arah jam 10 Ra... tampar aku sebelum aku pingsan," bisiknya.

Meskipun gue gak ngerti apa maksudnya, tapi gue tetap saja ngelakuin apa yang dia katakan. Arah jam 10. Arah jam 10. Oke, terdapat Pak Zul yang sedang berdiri di dekat tiang bendera. Tidak, sepertinya bukan itu yang Tyas maksud. Gue melebarkan jarak pandangan gue ke sebelah kiri Pak Zul. Seorang laki-laki dengan tubuh menurut gue sedikit kurus dan tidak berotot tapi pada kenyataannya dia menjadi anggota tim paskibraka sekolah dan sekarang dia menjadi ajudan upacara.

"Gue mau pingsan Ra..." bisik Tyas lagi. Kali ini tepat di telinga gue, membuat gue lama-lama ingin menyumpal mulutnya dengan kapas. Sekarang gue paham apa yang dia maksud pingsan. Setiap kali Tyas melihat si kurus itu memakai seragam paskibraka, mata Tyas akan berbinar melebihi binar 1000 bintang, rambutnya mendadak mengembang entah ada angin atau nggak, dan ketika si kurus itu berpapasan dengannya mendadak Tyas akan layu seperti putri malu. Kemudian lari ke arah yang berlawanan dengan perasaan yang menderu dan kemudian akan nyengir di hadapanku. Sepanjang hari.

"Ya ampun... dia kurus banget sih... harusnya dia gak pantes jadi anggota tim paskibraka. Kalau dilihat dari tingginya dia juga gak tinggi amat. Baris berbarisnya juga ah biasa saja. Apa coba yang bikin dia lolos seleksi paskibraka?" komentarku membuat Tyas bersungut-sungut.

"Hanya perempuan sejati saja yang bisa tahu ketampanan seorang pria," balas Tyas.

"Apa? Maksud loe, gue bukan perempuan sejati gitu? Gue perempuan dari lahir ya. Enak saja..."

"Ye... kan gue gak bilang loe bukan perempuan. Gue cuma bilang perempuan sejati. It means banyak dong. Ya bisa dikatakan perempuan yang bisa bedain mana lipstik mana lip balm wkwkwk."

"Awas ya kalau loe..."

"Kalau apa?" kali ini suara itu bukan berasal dari Tyas. Alis buatan Tyas mulai terangkat, ekspresinya mendadak berubah seperti baru saja melihat hantu 7 bayangan. Dengan takut-takut, dia menaikkan alis buatannya, matanya mengerling ke arahku, dan jari telunjuknya menunjuk ke belakangku.

"Aduh... gue lemes... kok mataharinya ada 3 ya... awas ya kalau loe berani buat gue patah hati, kutembak dor! Dor! Dor! Aduh mataharinya jadi ada 10 ya... kok aneh?" gue pura-pura gila begitu menyadari Pak Mamet sudah di belakang gue. Untuk menambah ideal akting gue, gue menepuk dahi gue, melunglai dan...

"Ampuuuuun Pak!!!" belum sempat akting gue sempurna terkulai pingsan, tangan Pak Mamet lebih dulu mendarat ke telinga gue.

"Kamu dan Tyas, seusai upacara tidak boleh masuk kelas. Harus menemui saya!" Sudah tamat. Hal yang bakal gue sama Tyas lakukan nanti pasti akan disuruh hormat di depan tiang bendera sampai jam pelajaran kedua berakhir.

"Loe sih Yas!"

"Kok gue? Suara loe sih gak bisa diturunin dikit volumenya."

"Yaudah lah ya... kita memang selalu langganan dihukum habis upacara.

"Iyaaa... rasanya ada yang cemburu gitu kalau kita gak dihukum."

"Maksud loe?"

"Ternyata bukan cuma manusia, matahari pun cemburu kalau gak kita perhatikan."

"Terserah loe Yas!

LipstickWhere stories live. Discover now